Oleh :
Anwar Harry St. Pamenan *)
Peristiwa 18 Desember 1948 sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang berada dalam kota Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan di Sumatera. Pada malam hari pada tanggal 18 Desember 1948 hari terang bulan, udara sejuk dipelukan Merapi dan Singgalang ini dikejutkan oleh deru pesawat udara yang tiada henti-hentinya berputar-putar di udara Bukittinggi, putaran mana juga sampai ke Matur. Pada saat itu desas-desus bahwa bapak Presiden dan Inyiak H. Agus Salim akan singgah di Bukittinggi dalam perjalanannya ke India, oleh sebab itu timbul dugaan bahwa pesawat yang selalu berputar-putar di udara Bukittinggi itu tidak melihat kode lapangan atau lapangan sama sekali tidak terlihat dari udara. Untuk itu seluruh mobil-mobil yang ada dalam kota sama-sama pergi ke lapangan untuk menerangi lapangan yang kelak di darati oleh pesawat kepala negara.
Namun setelah berjam-jam dan telah diberi kode untuk segera mendarat namun pesawat tetap juga berputar-putar di udara. Rakyat jadi gelisah, dan para pemimpin jadi timbul tanda tanya, apa sebenarnya, kenapa pesawat yang telah diberi kode dengan lampu itu belum uga mendarat ?. Sementara itu arus penduduk yang berbondong-bondong ke lapangan udara Gadut tidak bisa ditahan. Mereka ingin menyambut kedatangan presiden mereka. Semalam suntuk penduduk Bukittinggi tidak tidur. Mereka merasa pasti bahwa yang ada dalam pesawat yang berputar-putar di udara Bukttinggi itu tidak lain adalah presiden dan Inyiak H. Agus Salim, dua pimpinan yang mereka cintai. Oleh sebab itu rakyat terus berdesakan terus mendekati lapangan udara Gadut. Apalagi setelah tersiar kabar bahwa presiden hanya akan singgah sebentar saja di Bukittinggi kemudian melanjutan perjalanan ke India. Khawair tidak akan melihat wajah presidennya inilah mereka mendesak terus mendekati lapangan udara. Semua alat negara menjadi kewalahan menahan arus rakyat ini.
Kecintaan rrakyat akan pemimpinnya ini pasti saja diketahui oleh Belanda yang pada saat itu sedang bercokol di kota Padang, dan dapat dipastikan bahwa pesawat yang menderu-deru di udara Bukittinggi ini pasti saja berpangkalan di lapangan Tabing Padang, dan sekarang dapat diperkirakan bahwa hembusan kedatangan presiden dan rombongan pasti ulah kaki-tangan NICA. Ini juga merupakan betapa awamnya pihak dinas rahasia kita pada masa itu dan keawaman ini dipergunakan oleh kaki tangan musuh menyelundupkan berita kedatangan presiden. Demikian derasnya hembusan kedatangan presiden dan rombongan yang hanya singgah sebentar saja di Bukittinggi selaku daearah pemerintahan Sumatera sehingga rakyat sekeliling kota dan sekitarnya yang berdekatan dengan Bukittinggi seperti dikomando untuk menyongsong kedatangan presiden dan ingin mendengar wejangan serta nasehat beliau.
Oleh karena itu pada pagi subuh yang sunyi dan nyaman Bukittinggi telah padat oleh penduduk yang berdatangan dari sentereo kampung yang berdekatan. Tapi . . . semua dugaan dan gambaran akan berjumpa dengan presiden itu ternyata merupakan
fatamorgana belaka. Tepat jam 06.00 tiga buah bomber dengan semena-mena telah membom kota kesayangan Bukittinggi. Tembakan mitraliur dan dengan segala ledakan dahsyat telah menghancurkan segala ketenangan dan harapan rakyat. Belanda telah melaksanakan aksi polisionalnya yang kedua, sedangkan pihak republik menyebutnya sebagai “agresi militer kedua” terhadap jantung pemerintahan baik Jogjakarta maupun atas kota Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan Sumatera.
Rakyat Indonesia terutama yang berada dalam kota Bukittinggi dan sekitarnya tadi malam semalam suntuk tidak tidur dikarenakan hembusan kedatangan presiden dan rombongan sama-sama berbondong-bondong ke Gadut menanti kedatangan presiden, sekarang masih dala keadaan mengantuk dan lelah karena tidak tidur, tau-tau dihantam dan dikejutkan oleh sipongang, ledakan bom dan rentetan bunyi letusan mitraliur yang dibarengi dengan pekikan dan erangan, menjadikan kota Bukittinggi centang perenang. Kematian mengintai disetiap sudut dan liku. Perang “merdeka atau mati” sekarang meminta bukti dan darma bakti putra putrinya.
Pada tanggal 18 Desember 1948 dipagi subuh yang damai di lereng lembah merapi dan singgalang dicatat dalam sejarah sebagai pagi yang kelabu, penuh dengan kengerian dan kematian atas kekejaman dan kebiadaban Belanda yang ingin hendak
berkuasa kembali dibumi Indonesia tercinta ini. Perang total tidak bisa dihindarkan lagi. Belanda dengan telah sengaja menghianati perjanjian Linggar Jati. Belanda telah menghabur-hamburkan mait kepada seluruh bangsa Indonesia. Rakyat yang tidak bersalah dan tidak berpengalaman melindungi diri dalam perang moderen telah jadi umpan peluru. Sebaliknya rakyat yang tidak dilindungi oleh senjata-senjata mutakhir itu sekarang jadi panik serta berlarian tidak tentu arah.
Peristiwa ini sangat menguntungkan sekali bagi Belanda yang hendak mencengkeramkan kuku penjajahannya kembali. Tapi mereka tidak sadar betapa pahitnya derita sengsara yang dialaminya semasa pendudukan Jepang. Mereka kembali pongah dan besar kepala melawan rakyat yang tidak bersenjata, tapi mereka juga lupa akan tekad dan sumpah “merdeka atau mati” dari seluruh bangsa Indonesia.
Kepala pemerintahan dan komandan militer kota Bukittinggi segera mengeluarkan pengumuan bahwa Belanda telah mulai menteror rakyat dengan kebiadabannya. Untuk itu kepada seluruh rakyat Indonesia yang cinta akan kemerdekaan supaya menyingkir ke luar kota, dan barang siapa yang berani menghianati perjuangan suci kemerdekaan itu akan digilas oleh revolusi bangsa sendiri. Kemudian oleh komandan militer Bukittinggi, seluruh proyek-proyek vital dibumi hanguskan demikian juga bagunan Hotel Merdeka juga dibumi hanguskan. Bukittinggi jadi lautan api. Rakyat merintih menahan sakit hati. Rakyat tidak meratapi kematian sanak saudaranya, tapi mereka meratapi kesengsaraan yang harus dilalui oleh Indonesia merdeka yang baru berusia tiga athun itu.
Perjuangan baru akan dimulai dan tidak tahu kapan akan berakhirnya. Aksi polisionil telah merobek-robek segala perjanjian. Belandalah yang akan bertanggung jawab di Mahkamah Internasional. Rakyat Indonesia cinta damai, . . . tapi mereka lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu dimana-mana diseluruh pelosok tanah air di kawasan Nusantara yang disebut oleh Belanda pada jaman dahulu sebagai “Nederland Indie” atau daerah Hindia Belanda itu, rakyat sekarang sedang diuji keampuhan dan kesanggupan dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan sejak tanggal 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia bertekad bulat Merdeka atau mati.
Tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi musuh yang memiliki perlengkapan senjata serba moderen ini selain dengan mengadakan perang gerilya. Taktir mundur dan maju akan segera diatur. Oleh sebab itu biarkan saja kota itu untuk sementara dikuasai, tapi secara bertahap satu demi satu kota itu akan direbut. Belanda yang tersebar luas di seluruh kota akan kalang kabut nanti membagi tenaganya dalam menghadapi perang gerilya dari rakyat. Bangsa Indonesia tidak mungkin mengadakan perlawanan frontal secara terbuka, tapi taktik gerilya akan menghancurkan seluruh benteng pertahanan Belanda itu. Ini semua akan kita buktikan . . .
Setelah kota Buittinggi dapat diduduki oleh serdadu Belanda, berkat bantuan bomber dan mustangnya, rakyat menyingkir keluar kota, terutama derah-daerah yang dianggap aman dan ada persawahannya, karena bagaimanapun juga hebatnya perang namun perut tidak kenal kompromi. Justru itu penuh sesaklah Matur dan Palembayan oleh arus pengungsi. Para pengungsi ini tidak saja datang dari Bukittinggi, tapi juga berasal dari padang dan Padang Panjang. Ramailah Matur, padatlah palembayan oleh bangsa Indonesia yang ingin merdeka.
Rakyat Matur yang dikenal sebagai insan-insan perantau sekarang berada di matur. Ada yang pulang karena kehidupan dirantau tidak menguintungkan lagi. Ada yang pulang untuk berjuang dengan saudara-saudaranya. Ada juga yang pulang karena perhubungan dengan daerah rantaunya terputus, namun kesemuanya itu menjadikan negeri Matur yang elok permai itu tampak bergairah karena padat oleh penduduk dan pendatang. Jadilah daerah Matur sebagai daerah “basis” baik pemerintahan darurat maupun daerah militer.
Kepala Staf Sub Komando A, Letkol Abdul Halim yang lebih populer dengan sebutan bapak Aleng adalah putera Matur, kemenakan dari Angku Lelong Dt. Mangkuto Alam, sekarang mengatur siasat dan strategi perjuangan dalam mengembangkan perang gerilya. Jadilah Matur sebagai pusat gerilya.
Atas peristiwa penghianatan atas segala perjanjian oleh Belanda ini, serta peristiwa aksi polisionil Belanda 18 Desember 1948 yang merobek-robek jantung pertahanan republik Indonesia sangat menjengkelkan pihak militer, sekurang-kurangnya pihak Sub Komando A. Karena menurut uraian “bapak Aleng”, begitu pasukan republik siap tempur, oleh pemimpin politisi diadakan perundingan dan perdamaian. Jadilah siap tempur itu menjadi siap ditempat tidak boleh meletuskan senjata. Oleh karena kita rakyat republik Indonesia selalu menjunjung tinggi etika perjuangan dan tidak ingin menghianati perjanjian sekalipun dengan musuh, kita terpaksa menahan hati untuk tetap patuh. Oleh karena tidak ada perang maka oleh para pemimpin politisi Indonesia diadakan “Rasionalisasi Militer”. Banyak anak buah militer terkena B.III atau di pensiunkan. Maksudnya tidak lain karena alasan keuangan. Bukan hanya itu, karena perang tidak ada maka pasukan dikirim ke garis belakang untuk dilatih dan disekolahkan. Peristiwa ini pasti saja menguntungkan pihak musuh, dan pada saat yang menguntungkan musuh ini disaat itu mereka melancarkan serangan dengan membabi buta. Akibatnya kocar-kacirlah rakyat tanpa komando. Jadilah rakyat Indonesia sebagai bulan-bulanan peluru musuh. Selanjutnya kata bapak Aleng; “bila kita telah siap dengan segala konsolidasi dan siap tempur lagi maka pemimpin politik kebali berunding dan tiap perundingan pasti mempersempit daerah republik. Demikianlah halnya. Mula pertama garis demarkasi untuk kota Padang terletak dekat Tabing. Kemudian digusur akibat perundingan ke daerah Pasar Usang. Seterusnya ke Lembah Anai. Berunding dan perundingan ini pasti dilaksanakan oleh para pemimpin politik, sedangkan pihak militer tidak dimintai pertimbangannya”. Demikian antara lain keterangan bapak Aleng. Demikian juga halnya sewaktu pertumbuhan TNI. Setelah mengalami berbagai tempaan dan penderitaan lulus dalam berbagai cobaan dan dalam keadaan siap siaga, siap tepur, terdengar pula berita penghentian tembak-menebak. Kesemuanya itu menguntungkan pihak musuh.
Kembali kita ungkit kenangan lama setelah jatuhnya Bukittinggi ketangan Belanda. Pasukan republik menghindar ke luar kota pada umumnya mereka terpisah dari pasukan induknya. Justru itu merupakan kewajiban komandanlah untuk menyusun anak buahnya. Semua pasukan yang terkena B.III dipanggil kembali, demikian juga para pemuda yang sedia berkorban untuk tanah air tercinta untuk dididik dan dilatih. Oleh karena memanggil dan mengumpulkan serta mendidik pemuda itu memakan waktu, maka Matur untuk pertama kalinya mengalami cobaan. Darah para syuhada dan pahlawan telah megalir membasahi Matur ketika mendapat kiriman “houwetzer” dari Bukittinggi. Selama lebih kurang 3 jam tembakan houwetzer menghantam Matur. Maka tercatatlah korban jiwa yang mati pada saat itu seperti Mirin gelar Sutan Makmur, ‘wali nagari perang’ Matur Hilir, serta
Nursyam satu kelaurga 9 jiwa putra Matur Hilir, dan lain-lain.
Kesemua korban houwetzer ini baru besoknya hari Sabtu baru dapat diselamatkan dan dikuburkan dimakam keluarga masing-masing. Perlu kita catat disini bahwa Mirin Sutan Makmur adalah putera daerah Matur yang sudah sejak lama, sejak masih pada jaman Belanda dengan gigih menantang penjajah. Beliau adalah orang pergerakan dari organisasi Muhammadiyah, yang sering ditangkap dalam rapat-rapat Muhammadiyah karena ucapan dan pidatonya dianggap merugikan pemerintah Hindia Belanda. Sewaktu berkumandangnya proklamasi, beliau terpilih sebagai Sekretaris Komite Nasional. Beliau pemuka masyarakat yang disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan. Mudah-mudahan darah beliau yang tertumpah di tanah persada ini akan merupakan dharma bakti transfusi darah jayanya Indonesia merdeka. Dan kepada Allah kita panjatkan do’a semoga seluruh amalan beliau diterima di sisinya. Juga untuk semua korban yang berjatuhan kita serahkan kepada Tuhan.
Perlu kita catat disini melihat akan perjuangan dan kegigihan Alm. Mirin Sutan Makmur selagi hayat dalam mewujudkan Indonesia merdeka, sewajarnyalah pemerintah daerah memberikan gelar kehormatan sebagai pahlawan daerah. Demikian juga sampai sekarang kuburan beliau tidak terawat sebagai layaknya karena keluarga beliau bukanlah orang berpunya. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya ? . . .
Setelah hantaman houwetzwer ke Matur yang memakan korban harta benda dan jiwa, sedangkan pasukan republik belum terkoordinir sebagaimana diharapkan, kembali mengaum dua buah “mustang cocor merah”. Rupanya pasukan udara mengiringi pasukan daarat menuju Matur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 14 Juli 1949. Maka untuk pertama kalinya terjadilah bentrokan senjata antara pasukan republik yang tidak berpengalaman dengan serdadu Belanda yang berpengalaman dan senjata lengkap serta terlatih di jalan sempit Parit Panjang. Maka tercatatlah dalam peristiwa ini seorang pemuda bernama Udin Tirai mati dalam mempertahankan kemerdekaan.
Kemudian serdadu Belanda ini meneruskan perjalanannya yang dikawal melalui udara menuju Matur. Disinipun terjadi bentrokan senjata dengan seorang “Pemuda Barisan Rakyat Sukarela” bernama Husin. Jatuhlah korban untuk hari itu dua orang pemuda yang gagah berani. Mereka telah membuktikan “merdeka atau mati”. Pasukan kita bukan saja sulit dalam menghimpun kekuatan karena jatuhnya Bukittinggi tapi juga mengalami kesulitan karena daerah terpencar-pencar tanpa penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya kecuali harus melalui hutan belantara akan memakan waktu yang cukup panjang, dalam keadaan masih mengatur atau menghimpun kembali Belanda menyerang Matur, yang tiap kedatangannya pasti diiringi dengan pesawat udara untuk melindungi pasukan darat. Untuk kedua kalinya terjadi pertempuran yang bisa disebut dengan sabotase dari pasukan republik di daerah Parit Panjang, yang mengakibatkan gugurnya seorang pemuda bernama Harun Sutan Pamenan.
Setelah Belanda berhasil membunuh Harun Sutan Pamenan, pasukan republik segera disiapkan bila nanti pasukan Belanda kembali ke Bukittinggi. Belanda pasti mengira bahwa di Matur tidak ada pasukan republik karena memang sengaja dikosongkan, dengan perhitungan nanti bila Belanda kembali oleh karena tidak ada perlawanan pasti mereka tidak dikawal dari udara. Nah kesmepatan inilah yang ditunggu oleh pasukan republik. Tapi sayangnya rencana ini tercium oleh Belanda. Mereka kembali ke Bukittinggi tidak melalui Parit Panjang yang telah disiapkan tapi mereka terus berjalan melalui Air Sumpu terus ke Panorama Baru, Pembidikan dan terus ke Kampung Pulasan. Sedangkan pasukan republik tetap siaga menanti orang yang tiadakan datang. Dalam perjalanannya ke Bukittinggi, Belanda sempat menangkap dua orang petani yaitu Mustafa gelar “Rang Kayo Mudo” dan Labai Kuna “Datuak Indo Marajo”. Dibawah todongan senjata dua petani ini terpaksa menunjukkan jalan ke Kurai.
Berdasarikan perhitungan strategi dan menghindarkan korban dari rakyat, maka kalau tadinya front boleh dikatakan di Parit Panjang maka sekarang front diperpanjang ke daerah Sungai Tanang di Durian. Di situ selalu terjadi perang kecil-kecilan. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan kemampuan senjata oleh pasukan republik, hingga pada suatu saat terjadilah pertempuran yang sangat hebat di daerah Koto Tuo. Pertempuran ini berkobar karena pasukan Belanda tidak dikawal oleh pasukan Udara. Areal pertempuran di alam terbuka ini menghendaki keberanian dan kemahiran. Pemuda Syofyan Tando putera daerah Matur Hilir bekas Hei Hoo memimpin pertempuran yang dinilai sangat hebat ini, yang berakhir dengan kematian pemuda Syofyan Yando. Sedangkan dipihak Belanda tewas 5 orang. Disamping kita bangga dengan Syofyan Tando, tapi kita kehilangan seorang pemuda yang gagah perkasa. Mereka telah pergi denga tekad ‘merdeka atau mati’.
Melihat kenyataan stand 1 – 5 ini Belanda kembali melancarkan serangan. Sekarang dengan dikawal oleh pasukan udara, dengan deikian Belanda berusaha terus untuk maju ke Matur. Namun dalam perjalanan Belanda selalu mendapat hadangan yang hebat dari pejuang-pejuang republik. Tiada sedikit korban di pihak Belanda walaupun mereka dikawal oleh “musttang cocor merah “, tapi seangat dan ala Matur memberikan dorongan kepada pasukan republik. Pertempuran sepanjang hari yang dimulai dari daerah Balingka terus sepanjang jalan, akibatnya tiap bangunan sepanjang jalan Panta, Pauah, Parit Panajng habis dibakar oleh Belanda. Pertempuran berkecamuk di Parit Panjang. Seorang pemuda Matur Hilir bernama Adnan Ilyas dari pasukan ‘Mobrig’ mati tertembak musuh. Oleh karena korban Belanda sangat banyak dibanding dengan pasukan republik maka mayat Adnan Ilyas digantung dan dibakar oleh Belanda. Inilah perang yang menghendaki pengorbanan yang tiada batas. Walaupun musuh telah mati namun dendam meraja lela dalam angkara murka penjajah Belanda. Demikian selanjutnya Belanda melanjutkan perjalanan menuju Matur, setiap jalan tiap bangunan akan jadi sasaran pembakaran oleh Belanda yang telah kematian banyak serdadunya itu.
Tatkala memasuki Matur Belanda boleh dikatakan tidak menemui perlawanan. Matur sengaja dikosongkan karena kuatir bila terjadi pertempuran di Matur maka sasaran yang akan menjadi korban tidak lain adalah rakyat. Disamping itu juga mengingat akan rapatnya rumah penduduk, jangan-jangan nantinya semua rumah penduduk itu akan jadi sasaran pembakaran. Namun Belanda yang sudah banyak kehilangan serdadunya sepanjang jalan menuju Matur telah kehilangan pertimbangan serta bertindak membabi buta saja. Akibatnya jadilah Matur sebagai lautan api. Semua bangunan rakyat yang dibangun dengan susah payah pada waktu berakhirnya tanaan paksa dan dengan uang bantuan dari wesel pos, sekarang telah rata dengan bumi akibat dibakar oleh serdadu NICA yang telah kehilangan akal.
Disamping itu Belanda juga membakar bangunan pesanggerahan yang dibangun oleh jenderal Van De Bosch, diperkirakan semua bangunan yang dibakar oleh Belanda sejak dari Panta, Pauah, parit Panajng, Kampuang Tingga, dan di sekeliling pasar matur tidak kurang dari 120 buah bangunan rumah. Jadilah Matur bagai dikalahkan garuda. Rakyat tafakkur dan bermohon kepada Tuhan semoga diturunkan bantuan serta diberi kekuatan moral dalam mewujudkan Indonesia Merdeka.
Dengan hebatnya kesedihan yang melanda Matur, namun rakyat tetap yakin bahwa perjuangan Indonesia merdeka pasti akan tercapai. Rata semua bangunan oleh api bukanlah melemahkan perjuangan, justru menebalkan iman mereka untuk meneruskan perjuangan itu. Semua rakyat yang rumahnya telah terbakar atau yang tidak sempat dimamah api di sekeliling pasar Matur menyingkir ke kampung-kampung untuk selanjutnya memulai usaha perjuangan.
Melihat Matur telah jadi lautan api dan sekarang telah rata dengan bumi, pihak militer sub komando A menjadikan daerah Pasar atur sebagai Staf Kwartir. Semua pasukan telah selesai di konsolidasi. Semua kekuatan telah tersusun. Jika selama ini kita semua bersifat menanti, maka sekarang diatur siasat mengadakan serangan offensif ke daerah musuh. Front tidak lagi berada di sepanjang jalan antara Matur dan Sungai Tanang, tapi harus berada dalam kota Bukittinggi itu sendiri. Pasukan-pasukan yang bermarkas di Matur telah diatur dan diberi asrama. Bermacam nama dan jenis senjata mereka. Ada Kompi Barayun, Kompi Singgalang, Kompi Gajah Mada, kompi Tundra, Kompi Bakapak serta banyak lagi barisan yang siap bertempur menunggu komando. Inilah hasil konsolidasi. Belanda jangan coba-coba lagi untuk datang ke Matur. Pasukan republik sekarang telah mempunyai senjata berat dan sanggup untuk bertempur dalam keadaan bagaimanapun.
Analisa Jenderal Spoort untuk menghancurkan republik Indonesia dalam tempo tiga minggu adalah khalayan belaka, malah makin hari tentara republik makin sepurna dan makin berkembang. Belanda yang berada dalam kota bagaikan berada dalam bara panas yang sewaktu-waktu dan setiap saat jiwa mereka terancam. Berkali-kali Bukittinggi dapat serangan, baik siang maupun malam hari dari berbagai jurusan. Inilah hasil konsolidasi dari Divisi IX Sub Komando A, yang kepala stafnya adalah bapak Aleng putra daerah Matur Hilir.
Belanda yang berada di Bukittinggi ini akhirnya mengetahui juga bahwa kekuatan militer di Sumatera Tengah berpusat di Matur, justru itu mereka berkali-kali mengadakan serangan ke Matur. Tapi semau serangan itu dapat dipatahkan dalam perjalanan dan berkali-kali pula mereka melakukanbombardemen dengan pesawat udara ke Matur, namun rakyat sekarang telah terlatih dan terbiasa bagaimana cara menyelamatkan diri dari mitraliur. Boleh dikata hampir setiap hari Matur mendapat serangan dari udara. Otomatis Matur harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Pasar tempat pedagang berjual beli sekitar Matur sekarang selalu berpindah-pindah, tidak lagi menetap di suatu tempat. Minggu sekarang pasarnya di daerah Surau Luar, minggu berikutnya pindah ke Labuang, demikian seterusnya pasar yang diramaikan tiap hari Kamis itu selalu berpindah-pindah dari parak yang satu keparak yang lain. Rakyat dapat mengikuti perkembangan ini dengan senang hati, tapi mereka tidak kuatir lagi akan serangan pasukan darat serdadu Belanda. Rakyat yakin pasukan republik Indonesia akan mampu menghadapi tiap serangan dari Belanda.
Selama Clash ke II atau Agresi ke II yang dimulai pada tanggal 18 Desember 1948 yang mana mulai pada saat itu para pemimpin yaitu Bung Karno, Bung Hatta, dan Inyiak Agus Salim dapat ditawan oleh belanda di Jogyakarta, sedangkan Syafruddin Prawiranegara, SH yang pada saat itu berada di Sumatera Barat langsung memimpin perjuangan rakyat dengan nama PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berpusat secara berkeliling, terutama di daerah Koto Tinggi Suliki, Sulit Air, Sumpur Kudus. Juga Matur merupakan tempat berkumpul banyak pemimpin yang dicintai rakyat.
Matur yang merupakan puing-puing kebakaran selalu ramai dikunjungi oleh pemimpin bangsa Indonesia karena rakyatnya sungguh-sungguh dalam membaktikan dirinya pada Indonesia merdeka. Walaupun penghidupan boleh dikata makan nasi sekali sehari, dan bahkan ada yang makan nasi sekali tiga hari, namun bila kedatangan pemimpin mereka rela memberikan apa saja demi untuk keselamatan dan kesenangan pemimpin yang mereka cintai.
Selama Agresi ke II ini Matur hanya 3 (tiga) kali dapat dimasuki oleh Belanda, itupun mereka tidak berani bermalam. Tapi kedatangan mereka yang tiga kali itu telah menewaskan 5 pemuda harapan bangsa, sedangkan yang korban dalam tembakan houwitzer sebanyak 10 jiwa, dan tidak dapat dihitung pengorbanan harta benda, baik yang dirampas oleh serdadu Belanda maupun pengorbanan atas pembakaran rumah mereka.
Peringatan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1949 di lapangan hijau Matur, seluruh pasukan yang berada dibawah Sub Komando A telah mengadakan demonstrasi kekuatan senjata. Pada saat itulah rakyat dapat melihat betapa anggun dan agungnya pasukan Tentara Nasional Indonesia . Baru 4 tahun Indonesia merdeka, namun mereka telah punya perlengkapan senjata otomatis. Rakyat bangga akan kemampuan tentara mereka dan rakyat yakin paling lambat pada tahun 1950 ibu kota Sumatera Bukittinggi akan dapat direbut kembali dari NICA Belanda.
Rakyat yang tadinya merasa linglung ketika Bukittinggi dapat direbut oleh Belanda sekarang bagaikan sekuntum bunga yang layu dapat siraman air hujan. Mereka kembali mendapat kepercayaan, bahwa Indonesia merdeka itu bukanlah merupakan impian saja lagi, tapi sudah dapat dipastikan kemerdekaan itu pasti tiba. Coba saja bayangkan yang telah berkali memasuki Matur sekarang tidak punya kemampuan lagi, kendatipun para serdadu ini dikawal oleh dua pesawat mustang, namun mereka tidak sanggup lagi menerobos benteng pertahanan TNI.
Memang disana-sini pada jaman revolusi itu akan terjadi beberapa kekeliruan dan kesalahan hukum. Umpamanya, bila pesawat udara musuh sedang berada di udara, oleh seseorang yang rajin mencatat kedatangan tiap pesawt itu, pasti dihubungkan dengan melihat jam tangan, dengan mengangkat lengan sebatas siku. Nah, dengan mengangkat lengan sebatas siku ini dengan mudah dapat di intimidasi dengan meng-kode pesawat yang di udara. Maka berlakulah hukum revolusi. Dibunuh dengan belek atau pisau tumpul. Revolusi dan hukum dalam masa perang memang aneh. Juga bila ada orang yang secara tidak sengaja atau bertepatan waktunya memutar-mutarkan tongkatnya, sedang deru pesawat terbang terdengar pula, maka si pemutar tongkat ini disebut dan dihukum seperti spion musuh, dan bila tuduhan ini diperkuat pula dengan saksi-saksi, jangan diharap akan hidup lagi.
Perlu juga dicatat disini, disamping rakyat bangga dengan kekuatan senjata militer mereka, juga mereka bangga akan kemampuan mengacau pasukan musuh sampai-sampai ke jantung kota dan ke dalam barak-barak musuh, tiap malam sering terjadi bentrokan senjata dalam kota Bukittinggi. Demikian pula pada siang hari, pemuda Pado Api, putra daerah Lurah Taganang membawa oleh-oleh telinga dan telunjuk Belanda dan pada hari berikutnya ada pula yang membawa mata Belanda. Ini semua adalah hukum revolusi, kendatipun musuh itu sudah mait, toh masih di sakiti lagi dengan memotong bagian dari tubuh musuhnya dan potongan itu dibawa dan diberikan kepada seseorang sebagai kenangan, dan juga sebagai oleh-oleh dari kota.
Kebanggaan rakyat bukan hanya sekedar ucapan, tapi juga diiringi dengan perbuatan. Mereka dengan segala senang hati menjamu tentaranya, juga mereka dengan senang hati meberikan bantuan, baik berupa makanan maupun pakaian.
Demikianlah Matur dari masa ke masa selalu terkenal akan keramah-tamahannya, kendatipun kehidupan pribadinya selalu kekurangan, namun dalam perjuangan dalam menuju Indonesia merdeka mereka rela berkorban, bila saja, dan apa saja. Oleh sebab itu walaupun Matur dipenuhi dengan para pengungsi dari kota, tidak akan kita dengar ada orang mati kelaparan. Ini semua berkat adanya pengertian dari anggota masyarakat dan tingginya kesadaran mereka antara sesama manusia.
Perlu juga kita catat disini, bahwa sejak jaman pendudukan Jepang rakyat sudah terbiasa memakai baju goni atau baju kulit kayu yang disebut tarok. Demikian juga halnya pada jaman revolusi 1945 s/d 1949 rakyat sudah tidak asing lagi dengan dua jenis pakaian tadi, tapi mereka tidak merasa rendah diri, juga tidak melunturkan semangat juang mereka.
Matur telah memberikan apa yyng ada pada mereka, baik harta, benda, maupun darah putera mereka yang gugur sebagai kusuma bangsa. Indonesia telah merdeka, mereka sekarang menanti dengan penuh harap, apakah merdeka itu di iringi dengan kemakmuran dan kebahagiaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Semoga sekali merdeka tetap merdeka.