Maresek
———————————
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari
penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah.
Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut
marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan tujuannya
sama, yaitu melakukan penjajakan pertama.
Siapa yang harus melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang wanita,
atau pihak keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di
Sumatera Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih
dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang
melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang
berlaku di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak
keluarga perempuan.
Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang sebenarnya
dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah penjajakan. Untuk ini
tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan
dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah
berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih dahulu.
Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah niat untuk
dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan
dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.
Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin
baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah
bunda pihak si gadis.
Urusan resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga
berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat,
maupun bagi mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi
keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan
anak-anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus
yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan,
tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai dengan pepatah
petitih :
Sia marunduak sia bungkuak
Sia malompek sia patah
Artinya siapa yang lebih berkehendak
Tentulah dia yang harus mengalah
Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam
beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling
menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun
telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang, maka
barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih
resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut acara maminang.
Maminang
———————————
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan
itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga
calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan resmi pertama ini
diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita
yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah
membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika
sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.
Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran
pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang
telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan
keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara
maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung
dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ?
Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak
keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu,
saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian
pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi :
Batampuak lah buliah dijinjiang,
Batali lah buliah diirik
Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga
kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada
keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan,
tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi
adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang
telah disepakati itu.
Barang-barang yang Dibawa
Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang
lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi
soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat sebuah
acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.
Pada daun sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan
manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan
kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi
kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka
dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak
akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok Siriah lah kami makan
Manih lah lakek diujuang lidah
Pahik lah luluih karakuangan
Jika sirih sudah kami makan
Yang manis lekat di ujung lidah
Yang pahit lolos ke kerongkongan
Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis
saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya.
Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga
akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan
dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan pada
satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang dijadikan
sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti
keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan
dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya
itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah
kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan oleh nenek
si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis
pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.
Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu
menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka
setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus
dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak.
Sesuai dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita
membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak rombongan
yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak
atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak
keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan
sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan
diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis
kepada pihak keluarga si pemuda
Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam
penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang
sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung
berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak
keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan
pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu
untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut
lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan
waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.
Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario
yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan
seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan
diselesaikan dalam satu kali pertemuan.
Minta Izin / Mahanta Siriah
———————————
Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka
kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang
bersangkutan, ialah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya,
kepada saudara-saudara ayahnya; kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan
kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada
beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta izin.
Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung
kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita
yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah
atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan
beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.
Tata Cara
Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan
(biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi
langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti
disebutkan diatas.
Setelah menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi
daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula
memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah,
akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan
yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan
kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam rencana perkawinan
itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh
keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut.
Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja
keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti itu. Dengan dihormati
begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil untuk ikut memikul
beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan
bingkisan-bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya
hanya satu kilogram gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.
Tata Busananya
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan
busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang
dibeberapa daerah di Sumatera Barat :
Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan
menyandang kain sarung palekat (atau sarung Bugis)
Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan
jas, kerah kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain
sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.
Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat
untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah
menukarnya dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah
sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata.
Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang
disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu
seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik
diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun
pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu
yang disuguhkan kepada orang yang didatangi.
Babako-Babaki
———————————
Sesuai dengan judulnya, maka pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara
perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang
disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini
menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan
isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga
beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau ujung emas.
Dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga bapak
tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako. Menurut ketentuan adat
setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako dimana pihak
bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau melaksanakan acaranya secara
khusus. Empat peristiwa tersebut adalah :
Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako
beberapa waktu setelah dilahirkan
Waktu perkawinannya
Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)
Waktu kematian
Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap
dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara ini, sejumlah keluarga
ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan ke rumah calon
mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran. Acara ini bisa besar,
bisa kecil, tergantung kepada kemampuan pihak keluarga bako.
Hakikat dari acara ini adalah bahwa pada peristiwa penting semacam ini, pihak
keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako mereka dan
mereka harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka.
Karena itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak
pusakonya membawa berbagai macam antaran. Terdiri dari berbagai macam barang
yang diperlukan langsung oleh anak pusako, seperti pakaian, bahan baju,
perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah,
kue-kue dan lain sebagainya.
Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan.
Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama dikota-kota besar, acara babako-babaki
ini sekarang sering disetalikan pelaksanaannya dengan acara malam bainai.
Sore harinya pihak bako datang dan tetap tinggal dirumah anak pusakonya itu
untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilangsungkan malam harinya.
Tata cara
Menurut tradisi kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput
dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak daro ini
akan bermalam semalam dirumah bakonya, dan pada kesempatan itu yang tua-tua akan
memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si calon pengantin sebagai bekal
untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti.
Besoknya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan calon pengantin wanita
didandani oleh bako dan lazimnya juga dipakaikan padanya pakaian adat pusaka
bako, kemudian baru diantarkan secara beramai-ramai dalam satu arak-arakan adat
ke rumah ibu bapaknya.
Arak-arakan bako mengantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan
ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula dimeriahkan
dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh sepanjang jalan.
Keluarga ibu juga mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan bako ini dengan
tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan di halaman dengan tari galombang
sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan diatas rumah.
Setelah naik ke atas rumah, maka seluruh barang antaran sebagai tanda putih hati
yang dibawa bako-bako tersebut (kecuali binatang ternak yang hidup) dijajarkan
di tengah rumah untuk dapat disaksikan oleh orang banyak.
Biasanya yang menjadi juru bicara dalam acara ini adalah perempuan yang
dihormati dalam keluarga bako. Dialah yang dengan bahasa yang penuh papatah
petitih akan menyampaikan maksud kedatangan mereka dan membilang satu persatu
antaran yang mereka bawa sebagai tanda putih hati dan kasih sayang kepada anak
pusakonya. Dari pihak keluarga calon anak daro biasanya yang menyambut juga
perempuan yang sama mahirnya dalam berbasa-basi.
Barang-barang yang dibawa bako
Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepala adat)
Nasi kuning singgang ayam (sebagai makanan adat)
Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit,
selimut dll
Perangkat perhiasan emas
Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan,
seperti beras, kelapa, binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam,
kambing atau kerbau
Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar
atau kecil
Menurut tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan
berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga
dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina
perekonomian rumah tangganya nanti. Misalnya bibit kelapa, bibit padi dan
tumbuh-tumbuhan lainnya.
Lazim juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman
tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang akan
dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsung disiapkan dan ikut
dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini.
Semua barang bawaan keluarga bako ini ditata secara khas diatas wadahnya sesuai
dengan tradisi di daerahnya masing-masing. Malah ada kalanya kerbau hidup yang
dibawapun didandani dan diberi pakaian khusus agar nampak menarik dan serasi
untuk tampil dalam arak-arakan itu.
Dibeberapa daerah SumBar acara yang sama dengan tujuan yang sama juga dilakukan
oleh pihak keluarga ayah terhadap calon mempelai pria.
Malam Bainai
———————————
Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang
dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin
wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan
meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.
Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya
calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ?
Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau
bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi
semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih
sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan
terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga
terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban
masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam
pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan
dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan,
dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk
menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok
pagi akan dinikahkan.
Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan
memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis.
Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut
daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari
hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka
selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam
kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap
terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun
warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia
sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan
suaminya kemana saja.
Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma
merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai
perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan
menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah
semata-mata.
Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih
dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita
disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman
dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian
atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian
perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah
membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan
dinobatkan jadi pegantin itu.
Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai
tujuan dan makna sbb:
Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan
meninggalkan masa remajanya,
Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina
kehidupan baru berumahtangga,
Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan
acara yang sakral, yaitu akad nikah,
Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama
ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara
ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan
pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya
digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus
benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air
yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.
Tata busana
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana
khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam
selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan
lengan nampak terbuka.
Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga
mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi
wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro.
Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak
daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan
suasana.
Tata cara
Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan
di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang
melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka
calon anak daro yang telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh
gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat.
Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini
disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang
mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari
saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya
memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak
akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin
merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga
kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita.
Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan
sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan
matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang
berkedudukan sama dengan ibu anak daro.
Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang
bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan.
Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya
maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air
haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan
untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak
bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan
yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya.
Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu
yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau
karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral.
Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling
diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i
pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali.
Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram
dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan
tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua
selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.
Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh
bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa
sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun
diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun
sitawa sidingin.
Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu
kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke
pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan.
Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari
kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan.
Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati
betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti.
Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh
kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat
melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang
membimbingnya lagi adalah suaminya.
Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro,
segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi
memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung
harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu
cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu
karena maut yang memisahkan mereka.
Bainai
Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon
pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Dapat pula
dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam itu, bisa oleh
keluarga calon besan.
Ada beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan
bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Tapi duduk mereka tidak
disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung mempersandingkan maka tempat calon
pengantin pria tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin
wanita.
Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil
jumlahnya. Paling banyak sembilan.
Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai ini setiap orang
tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon anak daro setelah selesai
biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro. Bisikan-bisikan itu bisa
berlangsung lama, bisa sangat singkat.
Maksudnya mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai
kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk membuat si
calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai.
Pelaksanaan kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang
memang telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar
disebut uci-uci.
Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan
kesenian-kesenian tradisional Minang. Di daerah pantai Sum Bar, hiburan yang
ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir sama dengan
lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu untuk mengundang orang
secara spontan tegak menari menyambut selendang-selendang yang diulurkan oleh
para penyanyi dan penari-penari wanita.
Manjapuik Marapulai
———————————
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara
perkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria ke
rumah orang tuanya untuk dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calon
pengantin wanita.
Dahulu di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari
keluarga calon pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini untuk
melafaskan ijab kabul di mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah
kemudian keluarga besar kembali menjemput menantunya itu ke rumah orang tuanya
untuk dipersandingkan di rumah pengantin wanita.
Tetapi sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar,
akad nikah diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu langsung
kedua pengantin dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara yang semacam ini,
penjemputan calon mempelai pria ke rumah orang tuanya harus dilaksanakan
sepanjang adat dengan memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati sebelumnya.
Sering terjadi sampai sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang diatur
oleh orang tua-tua sebuah rencana perkawinan batal gara-gara ketidakcocokan
dalam soal jemput menjemput calon marapulai atau mempelai ini. Kekisruhan ini
bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya barang-barang yang dibawa pihak
keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput, tapi bisa juga karena dirasa
juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara
kampungnya atau luhak adatnya yang berbeda-beda.
Secara umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin
pria keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :
Pertama
:
Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat
Kedua
:
Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan
dipakai oleh calon pengantin pria
Ketiga
:
Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan
kue-kue lainnya sebagai buah tangan
Hal-hal diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing
yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya
untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti Padang dan Pariaman, berlaku
ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan, tombak janggo janggi,
pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll.
Jika ada perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya dimana pihak keluarga
calon pengantin wanita harus membawa uang jemputan, uang hilang, atau apapun
namanya,maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu
melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada
wadahnya masing-masing.
Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya jumlah
keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering menjadi
ukuran besar kecilnya pesta yang diadakan itu.
Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan melakukan akad nikah ini, pihak
keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan seluruh keluarganya
yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang sumandonya. Situasi ini
dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua
belah pihak keluarga saling berusaha untuk memperlihatkan adat sopan dan
basa-basi yang baik.
Adat sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap dan
tindak tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata. Oleh karena
itulah maka pada acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus
menyediakan jurubicara yang dianggap mahir untuk bersikap dan bertutur kata yang
baik sesuai dengan tata cara adat yang disebut alur pasambahan, atau yang pandai
melaksanakan sambah manyambah.
Untuk acara sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau tidak
perlu harus dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu, tetapi
dipercayakan kepada yang muda-muda terutama para rang sumando baru dalam
lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai orang yang dihormati dan dituakan
maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta perkawinan berperan sebagai tumpuan
untuk bermufakat atau tempat memulangkan kata, jika ada hal-hal alam pembicaraan
yang memerlukan petunjuk dan saran dari yang tua-tua.
Oleh karena kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak
dimiliki oleh setiap orang, maka seringkali dikampung-kampung dulunya acara
semacam ini oleh para jurubicara yang ditunjuk, dijadikan ajang untuk saling
memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam melafalkan pepatah-petitih dan
merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga acara menjadi bertele-tele
memakan waktu yang panjang dan membosankan.
Sesuai dengan efisiensi waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga
harus tunduk kepada jadwal yang telah ditentukan, maka dengan tidak mengurangi
hakekat acara tersebut sebagai suatu yang harus nampak beradat, maka acara
sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya menyebut bagian-bagian yang
memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan tujuan kedatangan rombongan itu
sendiri. Oleh karena didalam pelajaran sambah-manyambah pun ada tata cara
pasambahan yang dikategorikan sebagai pangka batang untuk setiap acara yang
dihadapi.
Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu
adalah sbb:
Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas
rumah,
Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
Menyampaikan maksud kedatangan,
Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
Menanyakan gelar calon menantu mereka,
Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.
Tata cara
Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak
yang akan ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan sesuai
dengan undangan, maka rombongan penjemput berangkat menuju rumah calon pengantin
pria bersama-sama sambil membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah
disebutkan pada bab terdahulu.
Pihak keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di pekarangan
rumah sambil menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan menjawat atau
menerima barang-barang yang dibawa oleh rombongan yang datang.
Setelah segala bawaan yang dibawa oleh rombongan penjemput ini diterima
dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan naik ke atas rumah. Para
tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian yang paling baik di
atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan menghadap ke pintu masuk,
sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer sekitar pintu atau pada bagian yang
dilalui untuk menuju ke dapur atau ke ruang dalam.
Barang-barang bawaan rombongan penjemput termasuk sirih dalam cerana setelah
diterima di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan dijejerkan
ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang.
Dalam acara manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak
yang datang. Jika rombongan yang datang membawa seorang juru bicara yang pandai
sambah manyambah, maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah terlebih dahulu
pihak yang datang sambil berbisik bertanya kepada orang yang menanti kepada
siapa sembah ini akan ditujukan.
Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar
sambah yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang yang
memang telah mempunyai keahlian sepadan untuk menjawab kata secara alur
persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang dituhuakkan kepada seseorang
yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini dapat membuat malu
dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat menimbulkan rasa kurang
enak dihati tuan rumah.
Pembicaraan pertama yang dibuka oleh pihak yang datang ini, tidak pulalah sopan
jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan. Yang lazim
adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas penyambutan yang ramah
dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka, maka ia akan bertanya
terlebih dahulu, apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari
kedatangan rombongan. Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut
terungkap dalam kata-kata bersayap sbb:
Jikok ado nan takana di ati
Nan tailan-ilan dimato
Alah kok buliah kami katangahkan ?
Lazimnya menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai
sekarang di ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan
menjawab begitu saja secara langsung memberikan izin kepada rombongan yang
datang untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak seteguk lebih
dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat. Ini
sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :
Jikok manggolek di nan data
Jikok batanyo lapeh arak
Jikok barundiang sudah makan
Demikian pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan
atau setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah
disediakan.
Setelah selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara
pihak rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali
pertanyaan yang tertunda tadi. Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa
runding sudah bisa dilanjutkan, maka barulah jurubicara yang datang secara
terperinci mengemukakan maksud kedatangan rombongan dalam alur persembahannya
yang pokok-pokok isinya harus memenuhi ketentuan-ketentuan adat menjemput
maapulai sbb :
Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga
calon pengantin wanita.
Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan
membawa sirih dalam carano.
Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan
namanya dan nama orang tuanya dengan jelas).
Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang
akan mengiringkan.
Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut
dan membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai
berumah tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang
mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu
tidak ada kaitannya sama sekali dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali
hanya untuk memamerkan keahlian si tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut
adat untuk disebut adalah yang berhubungan dengan empat ketentuan di atas.
Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan rumah
maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput diserahkan
kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon mempelai pria.
Sambil menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara
dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria.
Setelah selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai
pria didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga calon mempelai
wanita, maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang laki-laki
berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman calon mempelai wanita, haruslah
calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya
dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang pantas untuk dihormati
dalam kaumnya.
Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri
biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang
akan kawin itu disebut akan menjadi “anak orang lain”. Sehingga momen permohonan
doa restu ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan,
dimana yang dilepas dan yang melepas saling bertangis-tangisan.
Lazimnya dalam acara menjemput calon mempelai pria ini, pihak keluarga calon
mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah tangga
untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon mempelai pria
mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah.
Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi
dengan sunting rendah.
Pemberian Gelar
———————————
Sesuatu yang khas Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap
dewasa harus mempunyai gelar. Ini sesuai dengan pantun adat yang berbunyi sbb :
Pancaringek tumbuah di paga
Diambiak urang ka ambalau
Ketek banamo gadang bagala
Baitu adaik di Minangkabau
Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh
karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus
diberi gelar pusaka kaumnya. Menurut kebiasaan dikampung-kampung dulu, bagi
seorang laki-laki yang telah beristeri rasanya kurang dihargai, kalau ia oleh
fihak keluarga isterinya dipanggil dengan menyebut nama kecilnya saja.
Penyebutan gelar seorang menantu, walaupun dengan kata-kata Tan saja untuk Sutan
atau Kuto saja untuk Sutan Mangkuto, telah mengungkapkan adanya sikap untuk
menghormati sang menantu atau rang sumandonya. Ketentuan ini sudah tentu
tidaklah berlaku bagi orang-orang tua pihak keluarga isteri yang sebelumnya juga
sudah sangat akrab dan intim dengan menantu atau semendanya itu dan telah
terbiasa memanggil nama.
Setiap kelompok orang seperut yang disebut satu suku didalam sistim kekerabatan
Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik
kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakannya yang laki-laki. Gelar inilah
yang diberikan sambut bersambut kepada pemuda-pemuda sepersukuan yang akan
berumah tangga. Karena itu pemberian gelar untuk seorang pemuda yang akan kawin,
harus dimintakan kepada mamaknya atau saudara laki-laki dari pihak ibu.
Selain dari mengambil gelar dari perbendaharaan suku yang ada dan telah dipakai
oleh kaumnya sejak dahulu, maka gelar untuk seorang calon mempelai pria dengan
persetujuan mamak-mamaknya juga dapat diambilkan dari persukuan ayahnya atau
dari dalam istilah Minang disebut pusako bako. Dan yang tidak mungkin atau
sangat bertentangan dengan ketentuan adat ialah mengambil gelar dari pihak
persukuan calon isteri, karena dengan demikian calon mempelai pria akan dinilai
sebagai perkawinan orang sesuku.
Ketentuan untuk memberikan gelar adat kepada pemuda-pemuda yang baru kawin ini,
tidak hanya harus berlaku dari rang sumando atau menantu-menantu yang memang
berasal dari suku Minangkabau saja, tetapi juga dapat diberikan kepada orang
semenda atau menantu yang berasal dari suku lain. Kepada menantu orang Jawa,
orang Sunda bahkan kepada menantu orang asing sekalipun. Karena gelar seorang
menantu sebenarnya lebih berguna untuk sebutan penghormatan dari pihak keluarga
mempelai wanita kepada orang semenda dan menantunya itu.
Gelar yang diberikan kepada seorang pemuda yang akan kawin, tidak sama nilainya
dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu. Gelar penghulu adalah
warisan adat yang hanya bisa diturunkan kepada kemenakannya dalam suatu upacara
besar dengan kesepakatan kaum setelah penghuluvyang bersangkutan meninggal
dunia. Tetapi gelar untuk seorang laki-laki yang akan kawin dapat diberikan
kepada siapa saja tanpa suatu acara adat yang khusus.
Pada umumnya gelar untuk pemuda-pemuda yang baru kawin ini diawali dengan Sutan.
Seperti Sutan Malenggang, Sutan Pamenan, Sutan Mangkuto dsb.
Ada ketentuan adat yang tersendiri dalam menempatkan orang semenda dan
menantu-menantu dari suku lain ini dalam struktur kekerabatan Minangkabau.
Bagaimanapun para orang semenda ini, jika telah beristerikan perempuan Minang,
maka mereka itu oleh pihak keluarga mempelai wanita ditegakkan sama tinggi dan
didudukkan sama rendah dengan menantu dan orang semendanya yang lain. Karena itu
kalau sudah diterima sebagai menantu, masuknya kedalam kekeluargaan juga harus
ditetapkan secara kokoh dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang sama. Ini
sesuai bunyi pepatah-petitih Minangkabau :
Jikok inggok mancangkam
Jikok tabang basitumpu
Artinya segala sesuatunya itu haruslah dilaksanakan secara sepenuh hati menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Nah, untuk semenda yang datang dari suku lain ini, pemberian gelar juga tidak
boleh diambilkan dari perbendaharaan gelar yang ada dalam kaum ninik mamak
mempelai wanita, karena jatuhnya nanti juga jadi perkawinan sesuku. Tetapi dapat
diambilkan dari perbendaharaan gelar yang ada di keluarga ayah mempelai wanita
atau disebut juga dari keluarga bako.
Atau bisa juga menurut prosedur yang agak berbelit yaitu calon menantu dijadikan
anak kemenakan dulu oleh ninik mamak suku lain yang bukan suku mempelai wanita,
kemudian ninik mamak suku yang lain ini memberikan gelar adat yang ada disukunya
kepada calon orang semenda itu.
Pemberian gelar untuk calon menantu inilah, baik ia orang Minang maupun orang
dari suku dan bangsa lain, yang wajib disebutkan pada waktu berlangsungnya
sambah-manyambah dalam acara manjapuik marapulai. Hal ini ditanyakan oleh juru
bicara rombongan calon mempelai pria yang menanti. Kemudian disebutkan pula
secara resmi ditengah-tengah orang ramai setelah selesai acara akad nikah secara
Islami. Inilah yang disebut dalam pepatah petitih :
Indak basuluah batang pisang
Basuluah bulan jo matoari
Bagalanggang mato rang banyak
Pengumuman gelar mempelai pria secara resmi setelah selesai acara akad nikah ini
sebaiknya disampaikan langsung oleh ninik mamak keluarga mempelai pria, atau
bisa juga disampaikan oleh pembawa acara. Dalam pengumuman itu disebutkan secara
lengkap dari suku dan kampung mana gelar itu diambilkan.
Acara Sesudah Akad Nikah
———————————
Acara pokok akad nikah dan ijab kabul berlangsung sesuai dengan peraturan baku
Hukum Islam dan Undang-Undang Negara R.I. Semua ini dipimpin langsung oleh
penghulu yang biasanya dipegang oleh Kepala Urusan Agama setempat.
Setelah selesai semua acara yang bersifat wajib Islami, maka barulah diadakan
lagi beberapa acara sesuai dengan adat istiadat Minang. Diantaranya yaitu :
Acara Mamulangkan Tando
Malewakan Gala Marapulai
Balantuang Kaniang
Mangaruak Nasi Kuniang
Bamain Coki
Mamulangkan Tando
Sesudah akad nikah pengantin pria dan pengantin wanita telah terikat secara sah
sebagai suami isteri baik dipandang dari sudut agama maupun dari undang-undang
negara. Ikatan itu sudah terpatri dalam surat nikah resmi yang dipegang oleh
masing-masing pihak. Karena itu tando yang diberikan sebagai janji ikatan
sewaktu bertunangan dahulu oleh kedua belah pihak keluarga tidak mereka perlukan
lagi.
Pengembalian barang tando ini dilakukan secara resmi dengan disaksikan oleh
keluarga kedua belah pihak setelah selesai acara akad nikah.
Urutan penyerahan tando itu dimulai oleh pihak keluarga pengantin wanita.
Diserahkan kepada ibu pengantin wanita oleh seorang keluarganya yang membawa
tando itu dari dalam kamar, kemudian ibu pengantin wanita menyerahkan kepada
mamak dalam persukuannya. Dan mamak pengantin wanita yang menyerahkan secara
resmi disambut oleh mamak pengantin pria yang kemudian menyerahkan tando itu
kepada ibu pengantin pria.
Pengembalian tando milik keluarga pengantin wanita juga dilakukan dengan urutan
yang sama oleh pihak keluarga pengantin pria.
Malewakan Gala Marapulai
Pengumuman gelar adat yang disandang oleh mempelai pria ini dilakukan langsung
oleh ninik mamak kaumnya. Ia harus menyebutkan secara jelas dari mana gelar itu
diambilkan dari persukuan ayahnya (bakonya). Jika pengantin pria bukan dari
persukuan Minang, maka pengumuman gelar ini dilakukan oleh ninik mamak persukuan
pengantin wanita dengan memberikan alasan dan penjelasan yang sama.
Balantuang Kaniang
Acara ini dan dua acara berikutnya lebih bersifat bungo alek atau
kembang-kembang pesta daripada acara adat. Ini sesuai dengan pantun-pantun
pepatah petitih Minang yang mengatakan :
Cukuik syaraik pai ka Makah
Jalankan parintah baibadaik
Wajib nikah karano sunnah
Sumarak alek karano adaik
Jadi jelas disini acara-acara adat yang dilakukan sesudah akad nikah lebih
bertujuan untuk menbuat sebuah pesta tampak lebih semarak.
Secara harfiah acara ini berarti mengadu kening. Pasangan suami isteri baru itu
dengan dipimpin oleh perempuan-perempuan tua yang disebut uci-uci saling
menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Mula-mula kedua mereka didudukkan
saling berhadapan dan antara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas.
Kemudian kipas ini diturunkan pelan-pelan, sehingga mata mereka saling
bertatapan. Setelah itu kedua uci-uci akan saling mendorongkan kepala pengantin
itu sehingga kening mereka saling bersentuhan.
Makna acara ini selain mengungkapkan kemesraan pertama antara mereka dengan
saling menyentuhkan bagian mulia pada wajah manusia (ingat ungkapan “malu
tercoreng pada kening”) maka persentuhan kulit pertama ini juga bermakna bahwa
sejak detik itu mereka sudah sah sebagai muhrim. Hal ini berarti pula bahwa
persentuhan kulit antar mereka tidak lagi membatalkan wudhu atau air sembahyang
masing-masing.
Mangaruak Nasi Kuniang
Dihadapan kedua pengantin itu diletakkan nasi kuning yang menimbuni singgang
ayam utuh didalamnya. Kedua pengantin ini dipimpin untuk saling berebut
mengambil daging ayam yang tersembunyi itu. Kemudian bagian-bagian yang didapat
masing-masing diperagakan kepada tamu-tamu.
Kata orang tua-tua Minang dulu, bagian apa dari daging ayam itu yang didapat
oleh masing-masing pengantin akan memberikan ramalan tentang peranan mereka
didalam berumah tangga kelak dikemudian hari. Umpamanya kalau pengantin
laki-laki mendapatkan bagian kepala, maknanya ia didalam perkawinannya
betul-betul akan menjadi kepala rumah tangga yang baik. Kalau pengantin wanita
mendapatkan sayap, maka maknanya didalam rumah tangganya nanti ia akan menjadi
ibu yang penyayang dan selalu melindungi anak-anaknya. Tatapi kalau sayap ini
diperoleh pengantin pria, maka pengantin wanita layak untuk menjaga suaminya
lebih ketat karena ada kemungkinan ia akan terbang kesana kemari.
Ramal meramal semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang
menegaskan bahwa Yang Maha Tahu tentang masa depan siapapun hanyalah Allah
semata-mata, bukan manusia, walaupun setua atau sepintar apapun manusia yang
meramal itu.
Perlambang lebih baik yang dapat dipetik dari acara ini, terletak pada adegan
ketika sang suami mengambil sedikit nasi kuning dengan lauknya, kemudian
menyerahkan kepada isterinya. Sang isteri menerima pemberian suaminya itu, tapi
tidak memakan semuanya. Ia hanya memasukkan sedikit kemulutnya, dan menyisihkan
yang lain dipiringnya. Sikap ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan
bahwa isteri yang baik ialah isteri yang bisa menahan hati untuk tidak selalu
menghabiskan nafkah berapapun yang diberikan suaminya, tetapi selalu
menyimpannya sedikit. Simpanan ini akan dikeluarkannya secara surprise kelak
untuk membantu keluarga ketika terjadi musim paceklil atau kekurangan rezeki.
Demikianlah simbolis acara ini sebaiknya ditafsirkan.
Bamain Coki
Coki adalah tradisional di Ranah Minang. Inimadalah semacam permainan catur yang
dilakukan oleh dua orang. papan permainannya hampir menyerupai papan halma
dengan garis-garis menyilang. Anak caturnya terdiri dari buah baju berbeda
warna.
Kedua pengantin dengan dipimpin oleh uci-uci mengadu kelihaian menjalankan dan
saling memakan buag masing-masing. Konon kabarnya dahulu kala permainan ini bisa
berlangsung lama dan sangat menarik untuk disaksikan.
Tetapi adakalanya permainan ini juga bisa berubah jadi semacam pergelutan antar
mereka yang saling berebut cincin di jari masing-masing. Adakalanya juga
pengantin wanita berhasil merebut cincin suaminya dan membawa lari masuk ke
dalam kamarnya. Dalam situasi begini, uci-uci lalu menghasut pengantin pria
memburu isterinya kedalam kamar untuk merebut cincinnya kembali.
Terang bahwa permainan ini sama sekalilah bermaksud agar pasangan suami isteri
baru itu saling menunjukkan kemahirannya dalam bermain coki, tapi lebih bermakna
untuk saling meluluhkan kekakuan diantara mereka dan mendorong terciptanya
kemesraan pertama antar pengantin baru yang dapat disaksikan oleh orang lain.
Inilah beberapa tata cara bungo alek menurut kebiasaan yang berlaku pada
beberapa kenagarian di Minangkabau, dan yang sekarang juga sudah lazim
ditampilkan sesudah akad nikah dalam pesta-pesta perkawinan orang Minang di
Jakarta.
Manjalang / Mahanta Nasi
————————————–
Seusai acara akah nikah yang dilanjutkan dengan basandiang di rumah kediaman
mempelai wanita, maka sebuah acara lagi yang dikategorikan sebagai perhelatan
besar dalam tata cara adat istiadat perkawinan di Minangkabau, ialah acara
manjalang. Acara ini mungkin bisa disamakan dengan acara ngunduh mantu yang
berlaku menurut adat Jawa.
Acara ini yang pelaksanaan dan undangannya dilakukan oleh pihak keluarga
mempelai pria, pada beberapa nagari di Sum Bar mendapat penamaan yang
berbeda-beda. Ada yang menyebut dengan istilah manjalang mintuo, mahanta nasi,
manyaok kandang atau mahanta nasi katunduakan, mahanta bubue dsb.
Namun maksud dan tujuannya sama, yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah akad
nikah dari pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga mempelai pria. Mengisi
adat ini bermakna bahwa pihak keluarga mempelai wanita pada hari yang ditentukan
harus datang secara resmi kerumah ayah ibu mempelai pria saling kenal mengenal
dengan seluruh keluarga mertua anaknya. Karena datang ini secara beradat dan
kunjungan mereka itu bukan saja akan disaksikan oleh keluarga, tetapi juag oleh
tamu-tamu lain yang diundang oleh keluarga pihak mempelai pria, maka tak heran
kalau dibeberapa nagari di Sum Bar sampai sekarang acara ini sering dilaksanakan
dengan sangat meriah dan penuh semarak.
Sesuai dengan salah satu judulnya mahanta nasi maka rombongan keluarga mempelai
wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria ini memang diharuskan untuk
membawa berbagai macam makanan. Seperti nasi kuning singgang ayam, lauk pauk
rendang, sampadeh dll. Serta kue-kue besar macam macam bolu dan kue-kue adat
seperti bulek-bulek, pinyaram, kue poci, kue abuak, onde-onde dll.
Semua bawaan ini ditata diatas dulang-dulang tinggi yang bertutup kain dalamak
dan dibawa dengan dijunjung diatas kepala dalam barisan oleh wanita-wanita yang
berpakaian adat. Proses inilah yang disebut dengan istilah manjujuang jamba.
Di daerah dalam lingkung adat kubuang tigo baleh (Solok), bawaan nasi dan lauk
pauk dalam acara ini yang disebut mahanta nasi katunduakan, ditata dalam
cambuang-cambuang kaca putih yang dijunjung oleh wanita-wanita berpakaian adat
setempat dengan barisan berderet satu-satu bagaikan itik pulang petang.
Di daerah pesisir seperti Padang dan Pariaman, maka segala bawaan ini baik yang
dijunjung diatas dulang maupun yang dipapah dengan baki, tidak boleh ditutup
agar orang-orang kampung lain bisa melihatnya sepanjang jalan yang dilalui. Di
daerah ini jumlah makanan yang dibawa berbeda pula untuk orang-orang biasa bila
dibandingkan dengan keturunan puti-puti. Untuk orang-orang biasa segala bawaan
itu cukup setiap macam sebuah atau serba satu atau paling banyak serba dua, maka
bagi keturunan puti-puti harus serba empat. Singgang ayamnya empat, kue bolunya
empat dll.
Arak-arakan manjalang atau mahanta nasi dari rumah mempelai wanita ke rumah
orang tua mempelai pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian
adat atau berbaju kurung, juga diikuti oleh para ninik mamak yang juga
mengenakan lengkap busana-busana adat sesuai dengan fungsinya didalam kaum.
Barisan ini juga dimeriahkan dengan iringan pemain musik tradisional setempat
seperti talempong pacik, gendang, dan puput sarunai yang berbunyi terus menerus
sepanjang jalan sampai ke tempat tujuan. Di beberapa kampung sekarang, yang
mungkin bertujuan untuk lebih praktis, iringan musik ini ada yang dilakukan
dengan mengikutsertakan seorang laki-laki dalam barisan dengan menyandang tape
recorder yang agak besar dan sepanjang jalan membunyikan kaset lagu-lagu Minang
dengan volume besar.
Dirumah mempelai pria rombongan ini disambut pula secara adat. Selain dengan
sirih dalam carano adakalanya juga dinanti dengan tari gelombang dan pasambahan.
Pengantin wanita dipersandingkan lagi dengan pengantin pria di pelaminan yang
sengaja dipasang oleh keluarga pengantin pria.
Adalah kewajiban adat bagi ayah ibu pengantin pria setelah acara selesai,
sebelum tamu-tamu pulang, untuk mengisi beberapa wadah bekas pembawaan makanan
keluarga pengantin wanita yang telah kosong.
Isinya bisa berupa bahan-bahan kain untuk baju, atau seperangkat pakaian,
perhiasan emas atau sejumlah uang atau bisa juga hanya diisi dengan gula,
mentega dan tepung terigu. Semua itu tentu sesuai dengan kemampuan dan kerelaan
sang mertua.
Untuk pesta-pesta perkawinan yang diadakan digedung-gedung, acara manjalang ini
juga sering dilaksanakan secara simbolik, dimana barisan pengantin waktu
memasuki gedung diawali dengan barisan dara-dara limpapeh rumah dan gadang yang
menjunjung jamba.
Sedangkan orang tua dan saudara-saudara kandung pengantin pria sebagai orang
yang punya hajat tidak ikut dalam barisan, tetapi menunggu iring-iringan
pengantin dan orang tua pengantin wanita di depan pelaminan.
Sambah Manyambah
———————————
Sambah-manyambah adalah satu tata cara menurut adat istiadat Minangkabau, yang
mengatur tata tertib dan sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan.
Kata-kata sambah yang dalam bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari
semacam sikap awal yang dilakukan oleh setiap orang yang akan melaksanakan
pasambahan. Sebelum memulai pembicaraannya ia harus terlebih dahulu mengangkat
dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus diantara kening dan hidung
bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya sikap yang dilakukan lawan
bicara ketika menerima sembah.
Sikap ini saja sudah menjelaskan intu hakikat dari acara tersebut, yaitu
bagaimana masing-masing pihak yang bertemu dalam satu pertemuan bisa saling
menghormati saling memperlihatkan adat sopan santun dan budi bahasa yang baik,
termasuk dalam mengatur kata-kata yang akan diucapkan. Dan dalam
sambah-manyambah ini bahasa Minang yang dipergunakan memang agak berbeda dengan
bahasa yang diucapkan orang sehari-hari. Bahasa yang dipakai diambil dari bahasa
kesusasteraan Minang lama yang liris prosais, penuh pepatah petitih dan dalam
kalimat-kalimatnya banyak menjajarkan berbagai ungkapan dan sinonim untuk
mempertegas maksud yang disampaikan.
Didalam aturan adat Minangkabau, tata cara sambah manyambah ini justru
diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan santun basa basi yang
harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam satu musyawarah.
Sebagaimana gurindam adat menyebut :
Tasasak putiang ka hulu
Dibawah kiliaran taji
Aso mulo rundiang dahulu
Tigo limbago nan tajali
Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah
manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih,
muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang
baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik
sopan santun.
Tiga Tingkat Pasambahan
Untuk zaman sekarang dengan mobilitas dan dinamika kehidupan yang begitu tinggi,
terutama bagi orang-orang yang sudah biasa dikejar-kejar waktu dikota-kota
besar, mendengarkan orang melakukan sambah-manyambah dalam bentuknya yang masih
asli seperti yang terdapat dikampung-kampung di Sumatera Barat, sering
mengundang kebosanan karena panjang dan lamanya.
Namun menurut tata cara sambah-manyambah tidak ada peraturan yang menetapkan
bahwa orang yang akan melakukan pasambahan harus bisa melafaskan tambo, yaitu
sejarah nenek moyang dan pepatah petitih Minang didalam pembicaraannya. Karena
tujuannya yang utama adalah untuk melihatkan basa-basi sopan-santun. Jika sikap
itu sudah tidak tercermin dalam tiga-empat kalimat prosais yang disampaikan
secara tepat, maka itupun sudah sah disebut sebagai pasambahan.
Didalam tata cara sambah-manyambah disebutkan ada tiga macam tingkat pasambahan
dengan tiga macam gaya yang dapat dilakukan dalam tiga acara yang berbeda pula.
Pertama, pidato adat, kedua pasambahan penghulu dan ketiga pasambahan pangka
batang.
Pidato adat. Ini adalah tingkat yang paling tertinggi yang umumnya cuma dikuasai
oleh para ahlinya dikalangan Penghulu Pucuk. Pembicara bukan saja sangat
mengetahui tentang Undang-undang dan Hukum Adat Minangkabau tetapi juga sangat
hafal mengenai tambo dan sejarah serta sangat fasih menyebut pepatah petitih
lama. Penyampaian kalimat-kalimatnya pun selain mengikuti gaya liris prosais
Minang dengan empat-empat suku kata tiap kalimat, sering juga mampu
membawakannya dalam gaya setengah senandung.
Pidato adat ini biasanya ditampilkan dalam musyawarah-musyawarah besar para
penghulu yang diadakan dibalairung adat. Yang menguasai gaya dan kemahiran ini
nampaknya sekarang ini tidak banyak lagi bisa ditemukan di Sumatera Barat.
Pasambahan Penghulu. Walaupun kemampuan melakukan pasambahan penghulu ini
dahulunya merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu
adat, tapi kenyataan sekarang tidak semua orang Minang yang menyandang gelar
Datuk bisa melakukannya. Beberapa acara sesuai dengan siklus kehidupan manusia
sejak dari kelahiran sampai kematian, terutama yang menyangkut kehidupan seorang
penghulu, di Minangkabau upacaranya juga harus dilakukan oleh para penghulu.
Akan sangat janggal rasanya jika di dalam upacara semacam itu ada penghulu yang
tidak mampu melakukan pembicaraan dalam gaya pasambahan. Sehingga lahir idiom
lama yang mengatakan Indak panghulu manulak sambah.
Apalagi dalam upacara pengangkatan seorang atau sejumlah penghulu baru yang
sering dilakukan secara istimewa di kampung-kampung, maka kemahiran seorang
Datuk dalam sambah-manyambah akan sangat teruji di gelanggang tsb. Malah sering
kali gelanggang semacam itu menjadi ajang bagi para penghulu untuk saling
memperagakan kemahiran masing-masing.
Untuk acara adat batagak penghulu inilah, tata cara sambah-manyambah memang
diharuskan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan peraturan yang
berlaku menurut luhak adat masing-masing. Dan sering bagi orang awam nampak
panjang bertele-tele, karena tidak mengerti peraturannya.
Setiap pembicaraan harus disampaikan kepada sejumlah orang yang menerima
pembicaraan harus selalu mengulangi pembicaraan orang itu, setiap
menyampaikannya kepada orang lain lagi. Dan pemulangan jawabannya pun harus
melalui siklus yang sama sehingga sampai kembali kepada pembicara pertama.
Inilah yang didalam pepatah-petitih disebut :
Lamak kato dipakatokan,
Lamak samba dikunyah-kunyah,
Bakato indak sadang sapatah,
Bajalan indak sadang salangkah
Pasambahan Pangka Batang. Ini adalah gaya bahasa pasambahan yang dapat dilakukan
oleh siapa saja. Dan bisa ditampilkan dalam acara-acara lain yang bukan acara
batagak penghulu misalnya seperti dalam acara perkawinan. Menurut kebiasaan yang
berlaku sejak dulu di Minangkabau, kewajiban untuk melakukan sambah-manyambah
dalam acara perkawinan tidaklah terpikul kepada Datuk-datuk tetapi merupakan
kewajibana para menantu atau orang-orang semenda baru yang ada di atas rumah.
Mereka inilah yang lazim diberi tugas untuk menjemput calon mempelai pria, dan
akrena itu pulalah mereka harus menguasai tata tertib berbicara menurut alur
persembahan walaupun secara sederhana. Tata cara yang sederhana inilah yang
didalam kategori sambah manyambah disebut pangka batang. Artinya menguasai
bagian-bagian yang pokok saja.
Pengertian pokok disini, adalah dalam cara menyampaikan maksud dan tujuan.
Pembicara tidaklah perlu harus mengungkapkan tambo sejarah nagari, hukum adat
dll yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud dan tujuan pembicaraan.
Tetapi kalimat-kalimat yang menyiratkan keramahan, tata tertib, basa basi dan
sopan santun, tetap harus dipertahankan sesuai dengan esensi adat sambah
manyambah itu sendiri.