Halaman

Jumat, 17 September 2010

Objek Wisata Sejarah Dan Purbakala


Museum Arkeologi Belubus

Museum Arkeologi Belubus ini sudah di pelihara dengan baik oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sumatera Barat dan Riau di Batusangkar dan telah mempunyai seorang juru pelihara. Komplek yang di pagari kawat berduri, didalamnya di bangun sebuah rumah adat bertingkat dua terbuat dari kayu. Rumah tersebut dimaksudkan sebagai museum kepurbakalaan di Kabupaten Lima Puluh Kota .

Di dalam ruangan atas di temui foto dari beberapa situs magalitik daerah lain di Kabupaten Lima Puluh Kota. Di anak tangganya di jumpai sebuah batu pijakan yang bercahaya pada malam hari. Menjelang pintu masuk ada sebuah gapura dengan pintu besi. Dari gerbang ke dalam situs lebih kurang 20 m di buat jalan dengan beton semen serta arah Tenggara menuju kolam ikan sekitar 15 m.Situs yang di pagar dengan lebar sisi Timur Laut 19 m, lebar sisi sebelah Timur 12 m dengan panjang sisi sebelah Tenggara sekitar 45 m, panjang sisi sebelah Barat Laut 35 m dan 12 m memanjang dari Barat laut ke Tenggara.Dalam komplek taman Purbakala tersebut di jumpai 16 buah Menhir dengan berbagai bentuk dan variasi,bentuk Menhir di Belubuih dengan hiasan kepala ular.



Menhir Mahat

Nagari Mahat terletak pada sebuah lembah, dipagari perbukitan dan mempunyai tiga (3) anak sungai , yaitu Batang Kincuang, Batang Sugak dan Batang Penawan yang ketiganya masuk ke Batang Mahat sebagai sungai terbesar, selain keindahan alam yang mempesona Nagari Mahat juga memiliki situs peninggalan kepurbakalaan yang dapat dijadikan sebagai objek wisata budaya dan penelitian.
Di Kenagarian Mahat yang luasnya 115,92 Km2 tersebar peninggalan Kepurbakalaan berupa ; Menhir, Batu Dakon, Lumpang Batu, Punden Berundak-undak, Batu Tapak, Batu Jajak Ayam, Balai-balai Batu pembagian wilayah empat Niniak Luak Limo Puluah, Masjid Kuno dan Pesanggerahan masa Pemerintahan hindia Belanda.
Dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Lima Puluh Kota, Nagari Mahat menjadi istimewa, karena memiliki Menhir terbanyak di Kabupaten Lima Puluh Kota hingga dijuluki nagari seribu menhir yang tersebar di setiap jorong di nagari mahat, antara lain :
1. Situs Balai-Balai Batu Koto Gadang Mahat, terdapat sebanyak 70 buah menhir dalam berbagai ukuran serta ada empat buah batu yang disebut dengan batu pembagian niniak nan barampek., yaitu :Datuak Maharajo Indo ,Dt. Siri ,Dt.Bandaro dan Dt Rajo Dubalai .
2. Situs Menhir Ronah, Disini dijumpai situs Menhir di empat tempat yang jumlahnya mencapai 96 buah dan dua buah kuburan tua yang disebut masyarakat setempat Kuburan Bilo Maso. Salah satu peninggalam Islam beberapa mesjid Tua tak jauh dari pasar Ronah. Dilokasi ini dijumpai pula batu Galombai dan Batu sampan
3. Situs Menhir Bawah Parit Kototinggi, disini dijumpai situs Menhir sebanyak 384 buah dan satu peti batu. Pada situs Bawah Parit ini disudut barat terdapat sebuah batu dakon dengan lubang 12 buah.
4. Situs Ampang Gadang , disini dijumpai situs menhir Pao Ruso.
5. Situs Aur duri, disini ditemukan menhir sebanyak 4 buah.
6. Situs Sopan Gadang, disini terdapat tiga lokasi situs menhir dengan jumlah sekitar 20 buah. Ditepi Batang Mahat seperti muara Batang siung ditemukan batu jajak ayam, batu Tapak serta sebuah Tapak Candi. Dijorong ini juga ditemukan sebuah tambatan yang diduga sebagai pelabuhan dulukala.
7. Situs Nenan, disini ditemukan dua buah Menhir


Makam Pahlawan Situjuah Batua

Peristiwa Situjuah Batua yang menewaskan 60 pejuang, 15 Januari 1949, berhubungan erat dengan PDRI yang sudah diakui pemerintah dan diperingati sebagai Hari Bela Negara. Ia menjadi bagian terpenting dalam sejarah nasional.
Peristiwa Situjuah Batua terjadi, ketika Belanda ingin menangkap para pejuang dan memusnahkan pemancar radio yang ada di Koto Tinggi, tempat PDRI bermarkas. Mengetahui rencana Belanda itu, para pejuang menyingkir ke Situjuah Batua. Dipimpin Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah, Khatib Sulaiman, dengan niat membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, Sabtu tengah malam, 14 Januari 1949 mereka berapat hingga larut malam.
Ada tiga poin keputusan yang diambil ketika itu, yakni (1) kita harus menyerang Kota Payakumbuh dari segala jurusan dan mendudukinya walaupun sesaat, guna meyakinkan dunia luar bahwa rakyat Indonesia tetang perjuang mengusir penjajah. (2) mengatur dan menyempurnakan persenjataan di komando pertempuran, dan (3) mengobarkan semangat perang gerilya di masyarakat dan menanamkan rasa benci terhadap penjajah.
Tanpa disangka, Belanda mengetahui keberadaan para pejuang di Situjuah Batua ini, dan tanggal 15 Januari 1949, ketika akan melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan. Dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Situjuah Batua itu, sejumlah pejuang tewas.
Sembilan pejuang di antaranya dikuburkan di Lurah Kincia, Situjuah Batua, tak jauh dari tempat mereka berapat. Bangunan rumah tempat mereka berapat akan dijadikan Museum Situjuah Batua,.
Objek wisata sejarah berupa makam dan tugu pahlawan ini berada pada lokasi yang sangat indah dan tersembunyi, yaitu pada sebuah lembah (Lurah Kincia) yang subur. terletak 11 km dari kota Payakumbuh.



Benteng Tuanku Nan Garang

Kawasan Benteng Tuanku Nan Garang berada di kaki Bukit Bungsu yang agak terpisah dari pemukiman penduduk. Kawasan ini merupakan daerah batas antara Nagari Lubuak Batingkok dan Nagari Taeh Bukik yang ditandai dengan batang aur yang ditanam disepanjang perbatasan tersebut. Kawasan Wisata Benteng Tuanku Nan Garang mempunyai pemandangan alam sekitar yang masih alami, bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Namun areal objek belum terbina dengan baik, dimana areal objek belum punya pagar, masih dikelilingi rumput. Didalamnya masih ada peninggalan batu-batu benteng.
Tuanku Nan Garang, adalah salah satu tokoh Paderi yang taat dalam mengembangkan ajaran Islam di Luhak Lima Puluh Kota dan ditakuti oleh Belanda. Sewaktu Residen Sumatera Barat Mac.Gillavri mengunjungi Benteng Tendikir di Tanjung Alam, Tanah Datar pada tanggal 9 Oktober 1829, ia berkirim surat kepada Tuanku Nan Garang, yang intinya mengajak Tuanku Nan Garang dan pengikutnya bersatu dengan Belanda untuk menghadapi kaum Paderi.
Surat Residen dibalas oleh Tuanku Nan Garang menyatakan bahwa mereka tidak perlu diganggu dulu, karena rakyat Luhak Lima Puluah Kota dengan ajaran Islam telah hidup dengan aman dan tentram.
Pada Tanggal 17 dan 18 Oktober 1832 Belanda memperluas wilayahnya di Luhak Lima Puluh Koto , penyerangan suatu kampung dilereng Gunung Bungsu yaitu Koto Tangah Lubuak Batingkok rakyatnya dibawah pimpinan Tuanku Nan Garang masih belum mau menyerah kepada Belanda , sehingga terjadi pertempuran yang sengit di kaki Gunung Bungsu .
Pada tangal 19 Oktober 1832 dengan pasukan yang kuat Belanda menyerang Koto Tangah. Untuk merampungkan pertahanan Tuanku Nan Garang pemimpin yang cukup taktis dan cerdik mengajak tentra Belanda untuk berunding diluar parit pertahanan kampung. Perundingan yang disengaja untuk mengulur waktu itu tetap saja tidak mendatangkan hasil. Merasa dipermainkan tentera Belanda lalu menyerang dengan segenap kekuatan dan persenjataan yang ada.
Walaupun ditembaki dengan meriam dan periuk api tapi benteng Tuanku Nan Garang tetap bertahan. Benteng Koto Tangah yang dikelilingi parit dan aur berduri ini baru dapat ditaklukan Belanda setelah didatangkan bala bantuan tentara dan senjata berat dari Payakumbuh. Sebagai balasan atas perlawanan ini Belanda membakar kampung Koto Tangah. Tuanku Nan Garang dan pengikutnya mundur kearah utara.Untuk menaklukkan benteng Tuanku Nan Garang ini selama 4 hari (19-22 Oktober 1832) di pihak Belanda banyak yang mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar