Halaman

Senin, 13 Desember 2010

Budaya Pacu Jawi ditengah Genangan Lumpur

Para Joki dengan semangat menggigit ekor Jawi, ada juga yang memukul pantat Jawi dengan semangat agar laju Jawinya semakin kencang. Sementara tepian sawah berlumpur yang dijadikan arena semakin siang semakin ramai saja oleh masyarakat yang menyaksikan helat budaya tradisi pacu jawi. Ditengah teriakan semangat oleh masyarakat yang menyaksikan pacu jawi agar sang Joki memacu jawinya semakin kencang, aku bermandi lumpur demi mengabadikan sebuah helat budaya yang begitu unik serta suguhan tradisi dan pemandangan alam negeri Sumatera Barat laksana surga yang amboy nian.


Sore itu aku membaca salah satu berita di harian nasional tentang pacu jawi yang tersohor di Negeri asalnya yakni sebuah nagari kecil di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Pacu Jawi jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Balapan Sapi. Tidak terlalu sulit untuk datang ke Kabupaten tempat diadakanya Pacu Jawi ini, jika dari Padang Ibukota Sumatera Barat kita cukup pergi kearah Padang Panjang kemungkinan akan menempuh waktu sekitar 2 jam-an. Kita juga bisa menumpang angkutan bus antar Kota dari Padang langsung menuju Batusangkar yang tiap jam pun ada. Jikalau datang dari padang menuju arah Batusangkar pemandangan elok akan menemani sepanjang perjalanan, mulai dari pemandangan sawah yang begitu elok, air terjun lembah anai, pemandangan gunung marapi yang menjulang, hamparan lahan pertanian, serta alam danau singkarak yang begitu elok.

Sore itu juga aku segera berkemas dan menyiapkan beberapa helai baju karena cuaca di ufuk barat terlihat kurang begitu bersahabat menurutku. Awan hitam menggumpal kelam sepertinya butiran air akan segera turun dalam beberapa jam kedepan. Namun itu tidak menjadi masalah untuk menyaksikan sebuah even budaya yang sangat menarik, baterai kamera ku sudah terisi penuh, memori utama dan memori cadangan tak lupa aku masukan ketas yang sudah mulai terlihat lusuh. Rencanaku jam 9 malam ini aku akan bertolak menuju Sumatra Barat dari Pekanbaru. Perjalanan dari Pekanbaru ke Sumatera Barat sendiri kemungkinan akan ditempuh dalam waktu 5 jam. Dengan target perhentian pertama adalah makan malam di Lubuk Bangku sekitar jam 2 malam. Tepat jam 9 malam aku memacu motor bututku meninggalkan Subrantas setelah mengisi perut kosong di sebuah rumah makan kecil sebelum tabek patah. Turut bersamaku 2 orang teman Bang Widiarso dan Bang Yandra. Widiarso sehari hari bekerja sebagai pewarta foto di group JPNN sedangkan Bang Yandra di bagian iklan RPG. Perjalanan kami menuju Sumbar tidak begitu bermasalah, hanya saja Bang Yandra harus berhenti disetiap SPBU yang dilaluinya untuk mengisi ulang bensin motornya yang terkenal boros itu. Hujan yang aku kawatirkan sebelumnya pun malu-malu datang kebumi. Jalanan yang agak sepi serta kondisi jalan yang licin membuat aku bersemangat memacu motor bututku meski larinya tidak bisa melebihi 80 KM/ jam. Karena jika dipacu melewati batas kecepatan itu, aku yakin satu persatu orderdil motorku akan copot. Mulai dari knalpot, rantai, ban bahkan tangki minyaknyapun kemungkinan akan rapuh satu persatu. Ah tidak masalah yang penting akhirnya jam 1.30 kamipun sampai di Lubuk Bangku. Sebuah tempat perhentian setelah kelok 9 apabila kita datang dari arah Pekanbaru. Akupun membasuh muka yang begitu pekat akibat kepulan abu jalanan di sebuah rumah makan yang ditongkrongi oleh bus angkutan antar Provinsi. Aku memesan soto ditambah teh telor untuk penambah stamina agar besok badanku tidak sempoyongan. Hampir satu jam kami menikmati peristirahatan ini, entah mengapa hujan tiba-tiba mengguyur dinginya malam itu. Ah sialan padahal kami akan menuju kota Payakumbuh untuk menginap beberapa jam di rumah Bang Yandra sebelum sinar pagi datang menjelang. Jam digital ku menunjukan pukul 2.40, jika mengkalkulasikan waktu tidur untuk malam ini kami hanya punya 2,5 jam dimulai dari sekarang. Akhirnya hujan pun kami tempuh menembus gelapnya jalananan basah Lubuk Bangku – Payakumbuh demi merebahkan tubuh sejenak. Sekitar setengah jam perjalanan dari Lubuk Bangku kamipun sampai di rumah Yandra untuk beristirahat sejenak. Aku sudah tidak tahan lagi dengan pakaian yang basah kuyup. Ini sungguh tidak begitu enak, bahkan celana dalamkunpun 100% basah. Dan adik kecilku begitu dingin dibuatnya. Sukurlah aku membawa pakaian ganti yang membuat tidurku malam itu lumayan nyenyak meski hanya 2 jam.

Pagi sekali aku sudah terbangun, udara kota Payakumbuh begitu menusuk tulang. Pagi itu kami akan menuju Batusangkar dari Kota Payakumbuh. Tujuan utama kami adalah Nagari Sungai Tarab tempat diadakanya helat budaya anak Nagari Pacu Jawi tersebut. Tepat pukul 6 aku mulai memacu laju motorku ditengah sepinya jalanan Kota Payakumbuh. Perjalanan kesana sungguh begitu indah, hamparan perbukitan memmbentang luas. Petani yang pergi kesawah menggiringi kerbauya untuk membajak, sawah yang ditanami benih padi oleh kelompok petani yang rata-rata ibu-ibu tersebut. Pemandangan yang begitu indah menurutku. Setelah perjalanan sekitar 1 jam akhirnya kami sampai juga di sungai tarab. Aku tidak bisa menahan perut keronconganku. Pagi itu aku sarapan Nasi Padang dengan sambal Rendang. Cukuplah untuk pengganjal perut hingga nanti sore.



Masuk ke Arena Pacu Jawi

Tua Muda Pria Wanita dari kejauhan berbondong bondong menuju arah tempat diadakanya pacu jawi.Ibu ibu membawa dulang-dulang yang berisi makanan untuk disajikan sebelum pembukaan acara pacu jawi. Dulang dulang dengan hiasan berbagai motif yang menutupi itu disebut jamba Semakin siang semakin ramai saja yang melintasi pematang sawah menuju arena pacu jawi ini. Aku melihat mereka semua sangat gembira untuk menyaksikan acara pacu jawi ini. Dilain pihak rombongan pria membawa beberapa ekor jawinya untuk pacu jawi nanti. Ada pula yang memakai mobil untuk membawa Sapinya,. Namun ada yang begitu unik dan menarik perhatian ku. Ada beberapa ekor Sapi yang terlihat begitu menor dengan dandanan yang berkilau dari kejauhan. Sapi-sapi hias ! ya ternyata selain lomba Pacu Jawi, ternyata ada juga lomba sapi hias. Para penduduk desa berlomba untuk menghias sapinya agar menjadi lebih menarik. Uniknya disetiap kepala sapi tersebut ditempelkan nama yang begitu mengocok perutku ada namanya “Pistol”, “Bintang Pilem”, “Inul”, Si Ros” dan masih banyak lagi nama-nama aneh yang tidak sangat cocok untuk diberikan kepada jawi menor dandanan mereka. Arena pacu jawi kali ini tempat nya begitu indah menurutku. Terletak di kaki Gunung Marapi, di sawah luas dan untuk mencapainya kita harus melewati pematang sawah yang lebarnya hanya sekitar 1 meter. Dari jalan beraspal aku harus menggiring motor bututku sekitar 1 km melewati pematang sawah yang kedua sisinya adalah sawah yang baru dipanen dan masih tergenang lumpur. Ditambah lagi lalu lalang orang yang ingin menyaksikan pacu jawi membuat jalan kecil ditengah sawah ini sulit untuk dilalui. Malahan sapi-sapi peserta pacu jawi yang akan bertanding pun melalui jalan kecil ini pula. Aku harus sedikit bersabar menunggu jalanya sapi-sapi yang bak peragawati meleok-leok di atas pematang sawah. Ondeh mandeh tambuah ciek…!



Talempong adalah alat musik Tradisional Minangkabau, suaranya aku dengar mulai bersahut-sahutan saat diriku beranjak semakin dekat ke arena, ditambah dengan Saluang yang membuat suasana terasa begitu Minangkabau sekali.Orang-orang berlalu lalang di arena pacu jawi ini semuanya terneyum sumringah dan penuh keramahan. Tampak juga beberapa permainan anak yang sudah mulai lekang oleh waktu. Ada komedi putar namun semuanya terbuat dari kayu, ada gondola atau di Sumatera Barat di sebut “Buaian Kaliang”, anak-anak begitu terlhat gembira menaikinya. Teriakan –teriakan mereka menambah hangat suasana. Dari kejauhan beberapa orang terlihat bermain laying-layang ditengah birunya langit dengar latar belakang Gunung Marapi. Orang-orang begitu menikmati acara budaya ini mereka datang membawa anak dan cucu mereka. Tidak tahu pasti berapa umur pengunjung paling tua yang menyaksikan ini. Namun aku melihat sekelompok lelaki tua yang pakaianya seragam dan menjadi poin of interest sekali. Mereka memakai Batik + Payung bewarna kuning mencolok. Oh my god ! Inilah Indonesia yang sebenarnya begitu indah and natural sekali !



Aku berkeliling di arena pacu jawi ini. Tepat ditepian arena pacu ada beberapa Pondok kayu. Tiangnya semua terbuat dari bambu dengan atap pohon rumbia tempat penduduk sekitar berjualan. Ada yang berjualan Ketupat Gulai Paku, Katupat Pecal,Ada yang menjual Galamai sebuah makanan khas Payakumbuh, Sate dan berbagai macam makanan serta minuman lainya. Aku tertarik dengan minuman yang wadahnya terbuat dari tempurung kelapa dan dibawahnya diberi potongan bambu agar wadah tempurung tersebut bisa berdiri. Unik memang dan akupun memesan 1 cangkir. Orang sini menyebutnya “Kopi Daun”. Ya jika sebelumnya aku meminum kopi dari hasil olahan biji kopi atau kopi sachet yang aku beli diwarung Bang Ucok didepan rumah untuk menemaniku menyaksikan pertunjukan wayang ditengah malam namun kali ini berbeda. Aku meminum kopi dari olahan hasil Daun Kopi. Konon kopi daun ini pertama kali dikenal zaman penjajahan dimana dahulunya penjajah yang datang membodohi masyarakat tanah datar bahwa yang lebih berkhasiat dan lebih nikmat itu adalah hasil olahan dari daun kopi bukan bijinya. Jadilah masyarakat disini mengolah daun kopi untuk diminum. Rasa Kopi Daun sendiri begitu nikmat. Wadahnya membuat Kopi dari bahan daun ini begitu manis, selain itu tiupan angina sepoi-sepoi dengan dendang lagu Minangkabau membuat rasa kopi ini begitu nikmat dinikmati.Selesai menikmati seduhan kopi daun ini akupun berhilir mudik diarena ini melihat semua aktifitas yang terjadi disini.



Tepat tengah hari acara Pacu Jawi pun dibuka, dibuka dengan tari persambahan yang dilakoni oleh beberapa gadis cilik setempat. Mereka begitu elok menarikan tarian ini. Para penonton begitu terkesima oleh suguhan yang mereka hadirkan.Tepuk tangan riuh menjadi hadiah atas sajian tarian uni-uni minang ini ( Gadis – gadis Minangkabau). Setelah tarian mereka selesai, akhirnya acara yang paling ditunggu-tunggupun diumumkan melalui “TOA” atau pengeras suara seperti kita kenal kebanyakan. Siang itu semakin terik saja aku rasakan. Kulitku terasa terbakar rasanya berada disini, namun semua itu tak melunturkan niatku untuk menyaksikan tradisi pacu jawi ini. Justru disinilah kenikmatan menyaksikan even ini. Ditengah terik panas, berbaur dengan penduduk lokal, menikmati pemandangan alam nan elok ranah minangkabau, mencicipi berbagai makanan khas yang hanya ada di negeri indah tepat di kaki gunung marapi ini. Ditengah terik aku melihat ada seorang turis juga yang menyaksikan acara ini. Tampak sekali dia begitu menikmati acara ini. Aku semakin senang, melihat antusiasme penduduk dalam perhelatan ini, melihat turis datang berkunjung menikmati tradisi yang begitu menakjubkan, melihat kesederhanaan masyarakat Indonesia dengan balutan khas Keramahan yang aku juluki “Real Hospitality just Indonesia”, serta pemandangan negeri nan elok semakin membuka mataku untuk meyakini bahwa Indonesia memang negeri surga dengan keelokan tiada tanding. Ratusan suku bangsa, ribuan tradisi, jutaan suguhan alam Indonesia sepertinya tidak akan habis untuk kita nikmati sepanjang hidup kita. Apa yang tidak ada di Negeri kita Indonesia ? Mulai dari Pantai dengan laut nan biru mengisi rata-rata seluruh pantai di pesisir setiap pulau Indonesia, Salju Indah di Puncak Cartenz Pyramid nan ada di tanah Papua sana, danau nan indah tersebar dimana-mana, peninggalan tradisi nenek moyang seperti candi-candi yang bertabur, aneka satwa yang tidak dimiliki oleh Negara lain, tradisi unik dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia dan masih banyak lag hal-hal yang membuatku semakin iri oleh indahnya alam negeriku.



Kembali ke bahasan pacu jawi, tepian sawah semakin ramai oleh penonton yang ingin menyaksikan kehebatan para joki memacu jawinya. Petakan sawah yang akan dijadikan arena ini terlihat berair dengan takaran air setinggi lutut. Ternyata untuk tinggi genangan air di petakan sawah ini ada ketentuanya juga. Petakan sawah yang akan dijadikan arena pacu jawi sendiri memiliki panjang sekitar lebih kurang 100 meter. Tepat dibawah petakan sawah yang akan dijadikan arena utama ada juga petakan sawah yang berair hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan sapi cedera akibat lari sapi yang keluar jalur. Sejajar dengan petakan yang dijadikan arena utama, terdapat petakan sawah yang sedikit berlumpur. Antara petakan sawah yang sedikit berlumpur dan petakan sawah yang dijadikan arena pacu jawi, dipisahkan oleh pematang yang nantinya para lelaki tegak untuk menghentikan laju sapinya. Untuk para penonton sendiri kebanyakan berdiri di tepian sawah yang lebih tinggi dari arena pacu jawi. Aku mengambil tempat persis dipematang sawah dimuka petakan sawah yang akan menjadi arena. Hal ini aku maksudkan agar mendapat sebuah frame foto dari depan sehingga aku bisa mendapatkan ekspresi para joki dengan sapinya yang berlari kencang meski resiko dihantam sapi yang melaju kencang sangat besar, namun itu tidak membuat niatku surut. Disinilah salah satu daya tarik memotret pacu jawi. Aku harus berpacu denga waktu dan lari sekencang-kencangnya apabila sapi itu berlari semakin dekat ke arahku. Lamakkk Bana !



Akhirnya pacu jawi yang kutunggu-tunggu dimulai juga. Pemilik sapi dan jokinya beranjak kea rah garis start dengan membawa dudukan yang terbuat dari kayu yang nantinya dudukan dari kayu perbentuk lonjong ini akan dipasangkan ke tubuh jawi. Diatas kayu inilah nantinya para joki berdiri untuk memacu sapinya tanpa alat apapun kecuali tangan dan gigi mereka. Mengapa begitu ? ya hanya tangan dan gigilah yang mereka gunakan untuk memacu jawinya agar berlari kencang. Tangan mereka digunakan untuk memukul pantat Sapi supaya berlari kencang sedangkan Giginya digunakan untuk menggigit ekor sapi tersebut tujuanya juga sama membuat sapi-sapi yang ditungganginya berlari semakin kencang. Nah uniknya pacu jawi ini terlihat dari peserta yang bertanding. Peserta pacu jawi sendiri adalah para pemilik sapi yang mencapai puluhan orang dengan sapi-sapi yang memadati arena berjumlah lebih kurang 400 – 600 ekor. Terbayang bukan betapa banyaknya sapi yang ada diarena ? aku melihat ini seperti sedang berada di Padang Gembala nan jauh entah dimana. Dalam perlombaanya pun tidak ada lawan, yang ada hanya sepasang sapi yang dipasangkan dudukan terbuat dari kayu denga ditunggangi joki tanpa ada pesaing. Untuk menilai sapi-sapi yang menang adalah dari sapi-sapi yang berlari kencang dan lurus dari garis start hingga garis finish. Semakin kencang dan lurus lari sapi-sapi tersebut maka semakin besar kemungkinan sapi-sapi tersebut untuk menang.


Filosofi Pacu Jawi dalam kehidupan sehari-hari

Unik dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Itulah yang aku dapatkan dari menyaksikan sebuah perhelatan Pacu Jawi ini. Memang orang Minangkabau memiliki sebuah pepatah yang begitu mendidik “Alam Takambang Manjadi Guru” ya..memang benar dari alamlah kita seharusnya belajar. Pepatah yang begitu bermakna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari alam kita seharusnya belajar dan menjadikan alam sebagai guru yang tak tertandingi. Bahkan ilmu yang alam sediakan tidaklah diajarkan sepenuhnya di sekolah formal sekalipun. Jika mau menelaah lebih dalam banyak hal yang kita bisa pelajari dari alam yang terbentang luas ini.



Begitu juga dengan pacu jawi. Tidak ada piala Gubernur, tidak ada uang puluhan juta, tidak ada trophy untuk sapi-sapi yang menang. Tidak ada juri yang menilai laju sapi-sapi ini untuk dianugerahkan sebagai “Cow of the Match”. Yang ada hanya masyarakat yang melihat dan menyaksikan yang menilai apakah sapi-sapi ini layak disandangkan sebagai juara. Bagaimanakah caranya mereka menilai sapi-sapi ini bisa menjadi juara ? Akupun menanyakan ke beberapa orang tetua yang menyaksikan pacu jawi ini. Jawaban logis dan sederhana namun begitu bernilai menurutku. Sapi-sapi yang akan menjadi pemenang adalah sapi-sapi yang berlari kencang dan lurus, gerakanya dengan pasanganya yang beraturan, larinya tdak keluar dari lintasan serta selamat dari garis start hingga finish. Lantas apabila sapi-sapi ini dinilai layak sebagai juara , apa yang didapatkan oleh pemilik sapi ini ? Sederhana saja, jika sapi sapi tersebut dinilai layak oleh para penonton yang datang sebagai juara maka nilai jual dari sapi-sapi tersebut akan naik dibandingkan dengan nilai pasar sapi. Para penonton yang datang menyaksikan perhelatan sapi ini akan mencari sapi yang dianggapnya layak menjadi juara dan diakhir pertandingan, sapi-sapi yang dinilainya juara tadi akan ditawar dengan harga tinggi kepada sang pemiliknya untuk selanjutnya akan dilakukan transaksi jual beli apabila harga telah disepakati.

Menurut cerita yang aku dapatkan dari tetua yang menyaksikan pacu jawi ini. Filosofi pacu jawi itulah yang berlaku juga di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Mengapa harus membandingkan sebuah helat budaya dengan kehidupan sehari-hari. Untuk menilai sapi yang menang adalah seperti diatas. Begitu juga dengan manusia, manusia yang akan menjadi juara dan pemenang itu adalah manusia yang mampu berjalan lurus, tidak keluar dari tatanan agama, budaya dan norma yang berlaku. Manusia yang mampu mengatur jalan hidupnya untuk tetap dijalur yang benar dengan menyelaraskan aspek yang berlaku untuk diimplementasikan kedalam kehidupanya. Hanya dengan begitu manusia bisa menjadi jawara sejati. Sungguh dibalik sebuah cipratan lumpur, ditengah teriakan penonton, ditengah padang sawah yang luas, tepat di kaki Gunung Marapi Sumatera Barat, diantara kerumunan ratusan sapi, dan ditengah semangat para joki yang memacu sapinya terdapat sebuah pelajaran berharga dari sebuah helat Budaya Pacu jawi. Pelajaran tentang hidup yang begitu berharga dari tanah subur Batusangkar.



Sungguh ini sebuah kenikmatan dan pelajaran bagiku menikmati Indonesia dan Kekayaanya. Semoga aku bisa merekam dan menuangkan cerita-cerita lainya tentang keelokan tradisi, alam dan masyarakat Indonesia. Pacu Jawi oh Pacu Jawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar