Mempertahankan tradisi adat pernikahan sudah menjadi keharusan masyarakat Minangkabau yang tinggal di Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan. Balutan nuansa syariat Islam sangat kental membungkusnya.
Adat pernikahan orang Lubuak Jantan menurut pakar adat perkawinan daerah Tanah Datar, Nusye, sangat menjunjung syariat Islam dan kaya dengan filosofi. "Dari warna-warna pakaian dan ornamen digunakan, jumlah untaian (setajuak) janur, sampai pakaian dan makanannya sarat makna Islami," jelasnya.
Pelaminan khas Minang ala Lubuk Jantan ini bertaburkan kain bersulam benang emas. Hitam begitu mendominasi sebagai warna yang mewakili kalangan datuk. Dalam adat pernikahan ini ads acara manyambuik marapulai, yakni prosesi adat yang dilaksanakan ketika mempelai pria (marapulai) datang dari mesjid setelah melakukan akad nikah.
Kebiasaan masyarakat Lubuak Jantan, lanjut Nusy, kerap melangsungkan pernikahan setelah shalat Jum'at.
Searah jarum jam:
1. Marapulai menuju rumah anak daro; 2. Santbut oleh tari gelombang; 3. Tari persembahan untuk mempersilahkan masuh; 4. Ibu anak daro mencuci kaki marapulai; 5. Berjalan menuju anak daro melawati kain putih; 6. Keluarga anak daro menunggu; 7;-Gaya Aelarninan Minangkabau; 8. Mempelai duduk bersimpuh.
Dan ketika akad berlangsung pun mempelai wanita (anak daro) tidak mendampingi mempelai pria, melainkan menunggu di kediaman anak daro.
Usai akad di mesjid, marapulai dengan diantar orang tuo dan ninik mamak (penghulu) mendatangi anak daro yang telah menanti kedatangan marapulai dengan mempersiapkan upacara adat prosesi manyambuik marapulai. Musik Talempong (sejenis alat musik gamelan) terus dimainkan untuk mengisi jeda atau ketika menuju ke prosesi selanjutnya.
Ketika marapulai dan keluarganya tiba di pintu kediaman anak daro (marapulai alah tibo), langsung disambut dengan Tari Gelombang sebagai tarian penyambut tamu dan petatah petitih (berbalas pantun) antara mintuo orang tua anak daro dan dibalas oleh mintuo orang tua marapulai (ibunda masing-masing mempelai). Inti dari petatah petitih ini adalah keluarga anak daro menerima kadatangan keluarga marapulai. Setalah itu Tari Persembahan yang dilakukan oleh beberapa penari perempuan mengiringi masuknya marapulai.
Marapulai belum bisa bersanding dengan anak daro di pelaminan sebelum mintuo marapulai (mertua mempelai pria) melakukan prosesi adat membasuah kaki, yaitu mintuo marapulai membersihkan kaki marapulai dengan air hingga tidak ada kotoran sedikitpun yang melekat, sebagai perlambang membersihkan kotoran (dosa) masa lalu. Lalu marapulai berjalan di atas kain putih dalam keadaan bersih tidak berbekas, ini menandakan marapulai mendatangi anak daro dalam keadaan suci.
Dalam prosesi adat ini, kedua mempelai bersanding dengan bersimpuh di lantai, tidak seperti pernikahan pads umumnya yang menggunakan kursi pelaminan. Tari Piring pun disuguhkan sebagai bentuk kegembiraan dan untuk menghibur mempelai dan masyarakat yang hadir. Lalu acara dilanjutkan dengan acara makan bajamba.
Terdapat sepasang setajuak yang terikat janur berjumlah 5 dan 6. Bila dijumlah menjadi sebelas, menandakan pengantin berasal dari keluarga bangsawan. Kaki setajuak adalah ketan kuning dan satu lagi berisi sirih, kapur, dan pinang dibungkus saputangan bersulam emas. Juga terdapat sepasang jamba gadang yang ditutup saputangan bersulam emas. Salah satu jamba gadang tersebut berisi ketan kuning, ketan putih, ketam hitam, dan paniaram. Sedangkan yang lain berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Dihadapan kedua mempelai ada jamba (hidangan), dulang yang berisi nasi terdiri dari empat warna, ada kuning, putih, hitam, dan di atasnya ditutup dengan warna coklat sebagai pemersatu. Semuanya ini memiliki makna masing-masing.
Menurut Sekjen Masyarakat Peduli Pariwisata Sumatera Barat (MAPPAS), Hj. Nuraini B. Prabdanu, warna putih melambangkan alim ulama atau religius, lalu warna hitam perlambang datuak atau orang mempunyai derajat tinggi, sedangkan warna kuning untuk orang memiliki sifat cendekiawan atau orang yang pandai.
Dibagian samping kiri dan kanan pelaminan di gelar sepra (kain putih) tempat menjamu para undangan. Jamuan berupa kue dan makanan tradisional Minangkabau seperti lamang, tapek kucui, ketan tape, dan kolak pisang (sono) diisikan pada piring-piring kecil. Ada juga cirano yang berisi makanan sebagai persembahan bagi datuk desa lain.
Dalam prosesi ini mempelai tidak saling menyuapi, tetapi masing-masing mempelai mengambil atau memilih jenis nasi yang hendak disuapnya. Apapun yang dipilih akan melambangkan sifat orangnya. Acara ini disudahi dengan acara bajamba atau makan bersama.
Pakaian pernikahan adat Minangkabau biasanya berwarna hitam ditaburi aura keemasan menyelimuti keseluruhan penampilan mempelai dengan sulaman emas pada baju kedua pengantin dan kain songket bertabur emas yang berornamen khas.
Baju kurung panjang dan kain sarung balapak merupakan busana anak daro pada umumnya. Hiasan pada kepala dan asesoris pendukung lainnya berupa belenggek ini terdiri dari 2 tingkat, yang pertama merupakan tanduk dari kain bersulam benang emas yang di atasnya dihiasi dengan tanduk emas atau dikenal dengan tengkuluk ameh.
Pakaian marapulai biasanya adalah 'pakaian kebesaran adat' yang terdiri dari baju gadang basiba, sarawa (celana) guntiang ampek dan Beta atau hiasan kepala dilengkapi dengan serong serta karih (keris).
Keaslian prosesi pernikahan Minangkabau khususnya masyarakat Lubuak Jantan bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan. Untuk memperkenalkan ke khalayak luas, MAPPAS menampilkannya dalam acara Ragam Pernikahan Nusantara 2007 di Balai Kartini yang diselenggarakan Depbudpar RI, November lalu. "Prosesi pernikahan daerah Lubuak Jantan hingga kini masih dilaksanakan masyarakatnya," jelas Nuraini. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar