Halaman

Selasa, 23 November 2010

Dongeng Ibu tentang Minangkabau….

Belakangan ini saya suka kangen sama almarhum ibu saya. Ga tau kenapa.

Ibu saya bukan tipe ibu yang suka memanjakan anak, bukan juga tipe ibu yang ekspresif menyatakan kasih sayangnya. Bukan! Sebaliknya dia adalah tipe perempuan tegas. Kalo ngomong suka agak nyelekit. Kalo marah agak nyeremin. Tapi di situlah kehebatannya. Bukannya dibenci malahan ibu saya dicintai banyak orang dan saudara-saudaranya. Padahal hampir semua pernah kena semprot.

Walaupun jarang mendongeng, ibu saya adalah seorang pencerita yang hebat. Dia asli orang Minangkabau. Saya pernah tanya sama dia, “kenapa sih orang-orang di sumatera barat dinamai suku ‘Minangkabau?”

Mulanya dia cuma bilang, “Nanti kalo ada waktu Ibu ceritain.”

“Kenapa ga sekarang?” desak saya.

“Soalnya ceritanya lumayan panjang…” kilahnya.

Akhirnya penantian panjang berbuah juga. Ketika kebetulan kami sedang berdua saja di rumah, ibu saya menceritakan riwayat minangkabau. Sambil berbaring di tempat tidur, ibu saya memulai kisahnya. Begini ceritanya:

Alkisah kerajaan di Padang berseteru dengan kerajaan di Jawa. Ibu saya ga menyebutkan nama kerajaannya, jadi cuma dibilang kerajaan di Padang dan di jawa. Jadi ga jelas juga sebenernya kerajaan apa. Saya cari peperangan ini di Wikipedia juga ga ada soalnya.

Nah karena hubungan semakin memanas pecahlah perang antara kedua kerajaan itu. Peperangan tentunya bukan kayak jaman sekarang tapi saling berhadapan dengan senjata seperti pedang, keris, tombak dan semacamnya.

Saya ngebayanginnya kayak perang barata Yudha. Di mana laskar pandawa berperang malawan laskar Kurawa di sebuah lapangan luas yang disebut dengan Kurusetra. Mereka berperang dari matahari terbit dan selesai pada saat matahari terbenam. Malamnya semua tidur di tenda2 seperti tenda haji yang memang disediakan untuk para perajurit beristirahat.

Perang berlangsung lama sekali. Kedua belah pihak sama2 menderita kerugian, baik dari segi ekonomi, politik dan kesejahteraan sosial. Udah ga keitung korban nyawa yang jatuh. Banyak perempuan2 yang mendadak jadi janda. Dan lembaga statistik menyatakan bahwa angka anak yatim tiba2 melonjak dengan tajam.

Kedua raja sangat gundah dengan keadaan tersebut. Mereka miris melihat ribuan korban berjatuhan dan mati sia-sia.Karena itu mereka berunding. Intinya perang harus dihentikan. Tapi namanya juga pejabat, pastinya sok kuasa dan ga mau kalah kan? Keduanya sepakat untuk menghentikan perang tapi pemenang perang tetap harus ditentukan.

“Sampeyan setuju kalo perang harus dihentikan?” kata Raja Jawa.

“Ambo setuju! Perang ini mempunyai dampak sistemik terhadap perekonomian kita.” sahut Raja Padang.

“Wah? Omongan sampeyan kok kayak Sri Mulyani?” tanya Raja Jawa keheranan.

“Inda ba’a lah. Sri Mulyani kan urang awak juo.” sahut Raja Padang sok tau. Padahal kan Sri Mulyani bukan orang Padang. Dia orang lampung apa orang semarang ya?

Setelah melalui diskusi panjang, Raja Jawa melemparkan ide cemerlang. Dia menawarkan untuk menentukan pemenangnya dengan adu kerbau saja. Pemenang perang akan ditentukan oleh kerbau yang berhasil mengalahkan lawannya.

Kenapa raja Jawa berani menawarkan taruhan tersebut? Rupanya Raja Jawa memiliki kerbau yang biasa tampil adu kerbau. Ukuran kerbaunya besar, kuat dengan tanduk yang sangat panjang. Kerbau itu konon masih titisan dewa, karena itu dinamai Kyai Gentong Pamungkas. Disebut begitu karena ukurannya besar seperti gentong dan mempunyai aji pamungkas untuk mengalahkan lawan. Dalam sejarah karirnya sebagai petarung belom pernah Kyai Gentong Pamungkas dikalahkan dalam adu kerbau.

Raja Padang bingung doooong? Seumur hidup mereka ga pernah bikin acara adu kerbau. Biasanya mah kerbau di sana cuma dipotong buat jadi gule atau dimasak jadi rendang. Tapi namanya juga Padang, suku yang terkenal suka ngeyel, sang raja akhirnya menerima tantangan tersebut. Bahkan dengan songongnya sang raja Padang menambahkan taruhannya.

“Ambo minta yang kalah harus memakai baju perempuan seumur hidup sampai ke seluruh turunannya. Gimana wa’ang sepakat sama ambo indak?”

“AKUR!” Karena sangat yakin bakalan menang tentu saja Raja Jawa setuju. Bahkan dia langsung mengulurkan tangannya untuk mengajak lawannya Tos sambil berkata, “Give me five man, give me five!”

TOSS!!! Kedua raja besar itu saling menepukkan telapak tangannya satu sama lain.

Pertempuran adu kerbau itu disepakati akan diadakan minggu depan. Raja Jawa membutuhkan waktu untuk mengadakan acara ritualnya terhadap Kyai Gentong Pamungkas. Kerbau tersebut akan dimandikan dengan air kembang 7 rupa, lalu dimantrai oleh seorang Mpu sakti yang biasa membuat keris khusus untuk keluarga kerajaan. Ritual itu diadakan dalam kubangan kerbau yang dibangun di samping keputren di belakang keraton (Kebayang ga tuh baunya?)

Sementara Raja Padang bingung banget. Beberapa hari ini dia ga bisa tidur dan ga napsu makan. Pikirannya cuma fokus memikirkan adu kerbau tersebut. Chef de cuisine istana pun kelimpungan. Gulai otak, sayur daon singkong, ayam pop, teri balado dan krupuk kulit yang udah disiram kuah gulai ayam pun tidak juga bisa membangkitkan selera sang baginda.

Rapat paripurna diadakan secara marathon. Untungnya ada seorang penasihat istana yang terkenal sangat pintar. Namanya Sutan Bagindo Maringkiak Macam Kudo. Dia selalu mempunyai ide dan strategi yang jenius dalam setiap masalah. Raja selalu mengandalkan keenceran otak penasihatnya ini. Setelah mendengar usulan penasihatnya, Sang Raja setuju untuk memakai taktik sang penasihat.

Dan hari yang dinantikan pun datang. Gelanggang adu kerbau telah dibangun tepat di tengah lapangan pertempuran. Gelanggang tesebut dikelilingi oleh pagar yang konon dibangun dengan menelan biaya Rp 22,1 Milyar. Ck…ck…ck…boros amat yak? Para penonton dari kedua kerajaan berebutan tempat paling depan di sekitar gelanggang untuk menyaksikan pertandingan dari dekat. Master of Ceremony tampil di tengah gelanggang lalu mengumumkan spesifikasi dan rekor masing2 kerbau sebagai petarung.

TENG! Lonceng telah dibunyikan. Sebuah pintu di kubu Raja Jawa dibuka dan ke luarlah seekor kerbau yang luarbiasa besar. Yak itulah Kyai Gentong Pamungkas. Dengan garang dia berlari dan mendengus-dengus berkeliling seakan ga sabar mencari musuhnya. Para prajurit dari jawa bersorak menyambut keangkeran kerbau andalannya.

Kali ini pintu di kubu kerajaan padang dibuka. Semua penonton menahan napas kepengen tau seperti apa kerbau yang akan muncul. Tapi setelah menunggu beberapa puluh menit belom juga kerbau dari padang ke luar.

“Huuuuuuu……!!! Suara cemooh membahana dari kubu kerajaan jawa.

Setelah menunggu sekian lama tiba-tiba sebuah benda kecil melesat ke dalam gelanggang. Ketika benda itu berhenti, telihatlah seekor anak kerbau yang masih sangat kecil berjalan sambil mengais-ngais tanah. Di kepala anak kebau itu diikat pisau belati seperti tanduk. Maklumlah anak kerbau kan belom punya tanduk jadi sebagai gantinya dipakailah dua bilah belati kecil.

Para penonton tertawa terbahak-bahak melihat jagoan dari negeri padang. Mana mungkin bisa menang anak kerbau masih menyusu melawan Kyai Gentong Pamungkas? Begitu pikir mereka. Sebaliknya penonton dari kerajaan padang juga kecewa ngeliat petarung yang dipilih oleh rajanya. Habislah sudah harapan mereka.

Bukan hanya penonton, Kyai Gentong Pamungkas pun kecewa dan merasa terhina ngeliat calon lawannya. Dia tentu saja berharap mendapat lawan yang setimpal. Dia membatin, ‘Dasar padang pelit banget! Masa ngasih lawan buat gue kok kecil amat ukurannya?’

Anak kerbau ini memang tampak menyedihkan. Sejak pagi tadi dia merasa haus banget karena ga dikasih susu. Hal ini sengaja dilakukan atas perintah Sutan Bagindo Maringkiak Macam Kudo. Anak kerbau ini terus berlari ke sana kemari lalu mengendus-ngendus tanah lagi seperti kerbau bodoh (eh? Emang kerbau ada yang pinter?).

Saking kesal ngeliat lawannya yang blo’on itu, Kyai Gentong Pamungkas mengeluarkan suara hinaan dengan cara mendengus mengeluarkan suara yang keras.

Mendengar dengusan Kyai Gentong, si anak kerbau menoleh. Tiba-tiba wajah si anak kerbau berubah parasnya jadi kegirangan. Dengan kecepatan luar biasa dia berlari menghampiri Kyai Gentong pamungkas sambil memekik, “Mami! Mamiiii!!! Mamiiiii!!!!” (pake bhs kebo tentunya).

Kyai Gentong bingung bukan main. ‘Kok gue dipanggil mami sih? Gue macho begini dikira perempuan? Diamput nih anak kebo. Kalo gue ngondek boleh deh lo panggil mami. Kurang ajar!!!!’

Rupanya saking kehausan si anak kebo pandangannya udah nanar, jadi ga bisa lagi beda’in mana kebo cowo dan mana kebo cewe. Bagaikan kilat tau2 dia udah berada di bawah badan Kyai Gentong. Kyai Gentong mulai panik tapi keadaan semakin ga baik untuknya.

“Mimik Mami!!! Mimik Mami. Haus nih dari pagi belom nyusu. Mimiiiiik!!!” kata si anak kebo sambil mengangkat kepalanya setinggi mungkin ke arah perut Kyai Gentong. Hal itu dilakukannya untuk mencari puting susu dari kerbau yang dikira ibunya.

Dan fatallah akibatnya! Pisau di kepala anak kerbau yang berfungsi sebagai tanduk tentu saja menikam perut Kyai Gentong Pamungkas.

Aarrrrrrrggghhhhh!!!!! Jago dari jawa meraung kesakitan kenceng banget membuat penonton terkejut bukan main.

Tapi penderitaan si Kyai tidak berhenti sampai di sini. Karena si anak kerbau ga berhasil mencari tetek ‘ibu’nya, dia terus saja melompat-lompat yang akibatnya kedua belati terus menerus menusuk perutnya. Darah berhamburan ke segala arah…(Kalo dibikin marus lumayan banget tuh).

Kena cipratan darah, si anak kebo kaget dan menyingkir dari bawah perut Kyai Gentong. Sementara petarung dari jawa ini bengong. Matanya makin berawan, suara-suara terdengar semakin jauh, di kejauhan dia ngeliat beberapa dewa dateng menjemputnya.

BRUK! Dengan suara keras rubuhlah Kyai Gentong Pamungkas meregang nyawa.

Yeaaaaahhhh!!!!! Suara pekik kemenangan membahana dari kubu kerajaan padang.

Luarbiasa! Ini hasil pemikiran dari penasihat istana, Sutan Bagindo Maringkiak Macam Kudo. Dengan keenceran otaknya yang brilyan, anak kerbau kehausan bisa mengalahkan Kyai Gentong Pamungkas yang udah dimandiin kembang 7 rupa dan dimantrai seorang empu yang sakti. Hebat bukan main!

Raja padang masuk ke tengah gelanggang. Semua prajurit mengelu-elukannya. Raja melambai ke seluruh sudut gelanggang sampai akhirnya matanya tertumbuk pada raja jawa yang juga sedang menatap matanya. Mereka berpandang2an. Kamera cut to cut dari wajah raja jawa pindah ke wajah raja padang lalu ke raja jawa lagi begitu seterusnya. Yah kayak film2 india kan suka gitu….

Tiba2 Raja Jawa bangkit dari podium. Dengan gerak perlahan dia juga melangkahkan kakinya ke arah Raja Padang. Mendadak semua orang terdiam. Suasana sangat tegang. Kalo kaleng minyak terjatuh pun mungkin juga ga akan kedengeran saking tegangnya.

Perlahan tapi pasti Raja Jawa telah berdiri di hadapan Raja Padang dengan jarak kira2 dua meter. Keduanya saling tatap dengan tajam namun masih terdiam. Sang Raja Jawa menghela napas panjang. Dengan gerakan sangat perlahan dia mencabut keris yang ada di pinggangnya. Sejenak dia menatap keris kerajaan itu lalu melemparkannya ke tanah sebagai tanda menyerah.

YEAAAAHHH…!!!!! Meledaklah tempat itu dengan sorak sorai suka cita dari penonton. Perang yang melelahkan itu akhirnya selesai dengan kemenangan Kerajaan Padang.

Raja Jawa membalikkan tubuhnya lalu berjalan dengan langkah gontai untuk meninggalkan tempat itu.

Namun tiba2 raja padang berkata, “Mas, pisaunya ketinggalan tuh.”

Raja Jawa tidak menyahut dan tidak membalikkan tubuhnya. Dia hanya mengibaskan tangannya memberi syarat bahwa dia tidak menginginkan kerisnya lagi.

Raja Padang memungut keris Sang Raja. Dia menghunus keris tersebut dan memperhatikannya dengan seksama. Dia keheranan dan berkata dalam hati, “Onde mande! Ini pisau kok banyak lekuk-lekuknya sih? Buat potong dagiang pasti indak enak tu.”

Merasa keris itu kurang fungsional untuknya, sang raja padang kembali menyusul Raja Jawa sambil berteriak, “Mas iko kerisnya diambil sajo. Ambo indak perlu.”

Tapi sekali lagi Si Raja Jawa mengibaskan tangannya tanda menolak. Bukan padang dong kalo ga ngotot. Si Raja Padang terus memaksa dan karena Raja Jawa nolak terus, akhirnya Raja Padang menyelipkan keris tersebut di sabuk bagian belakang Raja Jawa. Dan konon itulah asal muasal kenapa orang jawa selalu menaruh keris di belakang. Bukan dipinggang depan.

Dan sebagaimana raja2 umumnya di jawa, mereka selalu menepati janji yang sudah diucapkannya. Sejak itu pula raja-raja jawa selalu mengenakan kain sebagai tanda mereka kalah taruhan dan harus selalu memakai kain tesebut sampai turunan2nya.

“Oh begitu ceritanya ya Ma?” tanya saya pada ibu saya.

“Iya begitu. Dan itu sebabnya orang padang disebut suku minangkabau yang artinya ‘Menang Kerbau.’ kata ibu saya lagi.

“Dan makanya atap2 rumah adat selalu pake tanduk ya?” kata saya lagi mulai menangkap sesuatu sambil meneruskan, “Itu juga kenapa pakean adat minangkabau pake tanduk ya?”

Ibu saya cuma tersenyum lalu membalikkan tubuhnya untuk pergi tidur.

I loved you Mom!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar