Halaman

Senin, 01 November 2010

Kata Yang Tidak Tumbuh Menjadi Diri

Tulisan saya ini banyak bersinggungan dengan tulisan Afrizal Malna dalam Jurnal Selarong volume 5 th 2005, yang berjudul, “Konstruksi Negatif” yang Terus Dijalankan Orang-Orang Minang dalam Sastra Indonesia”. Dalam cara yang lain saya akan melanjutkan uraian Afrizal tersebut.

Pada awal tulisannya Afrizal mengemukakan,

“Dalam tulisan ini, saya tergoda untuk menggunakan diri saya sebagai pintu masuk. Tentu saja ia menjadi sangat biografis,…”


sutan-pandeka1

Sutan Pandeka

Dengan cara itu Afrizal kemudian melirik karya sastera orang-orang Minang dalam kancah sastera nasional. Suatu kancah yang masih sangat biografis pula. Afrizal menyebutnya sebagai perjalanan berbaliknya subjek rantau. Ia menyebut beberapa nama yang cukup representatif. Seperti dalam karya Raudal Tanjung Banua, tema tersebut mengumpul dalam kalimat seperti Kereta Itu Terus Memanjang. Raudal bercerita bahwa siapa saja yang masuk ke dalam kereta itu, akan lenyap dan hilang bersama kereta itu. Sementara dalam novel Abrar Yusra, Tanah Ombak, ia mengisyaratkan tentang rantau yang telah tumbuh di dalam Minang itu sendiri. Rantau itu terepresentasi lewat sebuah nightclub di kota Padang. Banyak pelacur dalam nigthclub tersebut yang berasal dari wanita-wanita Minang. Letak dan tempat nightclub disembunyikan. Afrizal mensinyalir bahwa begitu pula orang-orang Minang selalu menyembunyikan rantau yang sedang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Sedangkan si ibu pemiliknigthclub tetap terepresentasi sebagai ibu tradisi bagi para pelacur yang dikelolanya. Ibu itu mengurusi mulai dari urusan makan dan harian sampai urusan mencarikan jodoh buat para pelacur itu.

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang wartawan yang selalu merasa memasuki tempat yang asing, baru, atau rantau, setiap kali memasuki nightclub itu. Dan wartawan itu juga selalu akan merindukan pulang ke rumah tradisi membayangkan pelukan hangat dari si isteri yang bertubuh semok dan berwajah innocent. Sementara itu, sang wartawan telah jatuh hati pula pada seorang primadona dinightclub dan bingung untuk mendefenitifkan hubungan yang sedang terjadi. Upaya mendefenitifkan tersebut tidak terdapat acuannya dalam tradisi, sedang di luar tradisi ia hanya mengalami keterasingan identitas, termarjinalkan tanpa sebab yang dipahaminya.

Dalam Tanah Ombak, antara rantau dan tradisi saling berjalinan membentuk suatu batasan yang relatif baru tidak hanya dalam batas kesadaran tetapi juga dalam batasan geografis karena nightclub itu terdapat di kota Padang yang disembunyikan.

Berbagai struktur tragik terus bergulir dalam khasanah sastera orang-orang Minang (AA. Navis, Gustf, Harris Efendi Thahar, dsb) dengan beragam pola dan metode namun tetap pada tema yang sama dan kesimpulan yang relatif sama (absurditas).

Para pengarang itu mempersepsikan dirinya sebagai Malinkundang baru yang secara normatif sama dengan Malinkundang yang dulu, hanya saja mengalami berbagai perubahan dan pencanggihan dalam pola tragik yang dipakai. Dalam keterangan Afrizal, tragik kembali berulang tanpa adanya pertumbuhan solusi. Seakan-akan solusi adalah kemustahilan, hal inilah yang disebut Afrizal sebagai “konstruksi negatif”.

Nalar yang berkembang dalam sastera orang-orang Minang hanya bersibuk diri dengan upaya-upaya pencanggihan struktur dan pemolesan bentuk secara lebih baru. Begitu juga dari dulu hingga kini menurut Afrizal, persoalan perantauan orang-orang Minang tidak pernah beranjak dari itu-itu jua, sebagai si Malinkundang dalam berbagai kebaruan struktur.

Afrizal mencatat beberapa ikon penting yang relatif muncul dalam dunia sastra orang Minang yang suka merantau itu seperti: Bis, Truk, Kereta, Ombak. Sedang menurut saya berbagai ikon tersebut selalu berdekatan dengan ikon seperti terminal, pasar, teriakan, kebisingan, kebingungan, resiko, panas matahari, debu, puntung rokok, pinggiran, kesunyian: yang marjinal. Sebagai ikon, ia merupakan fundamen identitas dalam cara beridentitas di era kontemporer saat ini. Sehingga dalam realitas riilnya, seakan-akan orang Minang saat ini walaupun jauh dari gaya hidup yang marjinal secara artifisial (pulang kampung pakai pesawat, merantau sebagai mahasiswa, dosen atau pejabat tinggi, sebagai usahawan sukses, kontrakan di apartemen, dsb), namun tidak begitu dalam perilaku ikoniknya: tercium suatu aroma dari performa pinggiran.

Kata Tidak Berkuasa, Sudah Berubah, Juga Terbatas

Masyarakat Minang membangun tatanan kosmosnya mengandalkan daya kata. Dalam Gurindam edisi sebelumnya telah disebut betapa kata berkuasa (foucaultian) di Minangkabau. Dan ketika kata merupakan transformasi dari/untuk kuasa, maka kepentingan terhadap kata menjadi kepentingan yang paling mendasar. Semua orang berebut kata. Semua orang memproduksi kata sebanyak mungkin. Siapa yang paling banyak memiliki dan menggunakan kata berkemungkinan menjadi yang serba “paling” (paling cerdas, paling representatif, paling bijak, paling dapat diandalkan, paling legitimed, paling sah, paling terhormat, dsb). Orang Minang kemudian menjadi gemar berkata-kata.

Pola demikian masih bertahan hingga hari ini. Sedangkan kosmologi kata sesungguhnya telah berubah seiring pertumbuhan dunia global. Ia (kata) tidak lagi mampu mempermainkan realitas, tetapi justru dipermainkan realitas. Sehingga begitu juga, yang berpegang pada kata akan menjadi objek permainan serta kehilangan keasikan terhadap dirinya sendiri yang sedang ter/dipermainkan. Subjek tradisi berubah objek dalam dunia yang berubah ini. Sebagian dari mereka yang telah menjadi objek mencoba membangun kembali dunia tradisinya dalam berbagai cara dan polarisasi keadaan agar dapat menjadi subjek kembali dalam dunia preferensi yang dipahaminya (mis. Berbagai perkumpulan kepaguyuban seperti Baringin Tuo/Mudo, IMAMI, Formisi, Forkommi, Surau Tuo, dll).

Ketika keasikan terhadap diri semakin hilang, mentalitas menjadi minder dan apatis. Semestinya transisi bisa berarti penyesuaian,peleburan, adopsi, redefenisi, reposisi, dsb. Namun karena diri sudah tidak memiliki bangunan preferen yang utuh, transisi justru menakutkan. Ketimpanganpun terjadi, kata malah menimbulkan persoalan rujukan yang tak lagi akurat, terombang-ambing dalam medan kompetisi kuasa yang semakin kompleks. Kata tak lagi berkuasa. Orang-orang yang selama ini bergantung pada kuasa kata mengalami post-power sindrom, ilusi menggigau-gigau pada jam kerja di siang bolong: menyebut-nyebut banyak hal yang terakumulasi menjadi istilah “mambangkik batang tarandam”.

Zaman global saat ini tidak menjanjikan apa-apa. Hanya manusia banyak berharap juga padanya. Dalam kebudayaan Minang yang post-power sindrom itu, modernisme menjadi dasar bagi pertumbuhan formalisme beserta feodalisme baru. Sang “Tuan” (Minang) merasa mendapatkan kesempatan lagi untuk meraih justifikasi kuasa dengan adanya bantuan justifikatif dari luar dirinya. Sedangkan justifikasi tersebut bergerak dalam kerangka nalar dan moral yang membeda-bedakan antara kata “betul” dan kata “benar”: ada kata yang bersifat “mungkin” seperti pengetahuan harian atau pengalaman (ke”betul”an) dan ada kata yang bersifat “mesti” seperti ilmu pengetahuan, agama, negara (ke”benar”an) dll.

Dalam budaya feodalisme Minangkabau ini, mekanisme kuasa terjadi dengan mensublimasi dunia kewajaran menjadi bernuansa mitis. Berbagai hal diintrodusir menjadi mitos untuk melanggengkan legitimasi kuasa. Mitos-mitos tersebut bermunculan sebagai mitos sekolah tinggi, mitos rantau, mitos uang, mitos jabatan, mitos dialektika, mitos asal-usul, mitos sesepuh adat, mitos adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, mitos luhak nan tigo, dsb. Apa yang sebelumnya hanyalah suatu konsekwensi logis dari dialektika kata, kini menjadi representasi prestise dalam aras pergaulan sosial.

Feodalisme berkembang karena kemampuan pendasaran nalar dan nilai pada kata sudah sangat terbatas: mistifikasi dalam nalar dan nilai dikembangkan agar kata tetap memiliki gengsi dan wibawa. Dalam cara lain, kebudayaan Minang gagal membangun pendasaran baru kepada model yang lebih ikonik dan simbolis, yang memiliki daya tampung jauh lebih luas (interteks) dan elastis (interpretatif). Akibatnya misalnya terjadi dalam pola stereotyping yang bercokol di dalam kepala hari ini, masih seperti di zaman Siti Nurbaya.

Antara “betul” dan “benar” termanipulisir menjadi mana yang lebih berkuasa. Dulu, mana yang lebih berkuasa terelaborasi dalam mekanisme permainan yang dinamis (basilek lidah). Semua ditentukan secara fair dalam gelanggang yang sama. Sehingga siapa yang menang hari ini belum tentu menang lagi esoknya. Kemenangan selalu bertumpu pada usaha personal yang dilakukan setiap orang, bukan berkat institusi-institusi.

minangkabau-24

asak-ansua, urak-langkah, kisia-kirai, ulu-ambek: Silek Minang

Realitas kata yang sebelumnya dinamis berubah menjadi sangat segmentatif: ada yang sakral, ekslusif, elitis, terpelajar, ada pula yang harian, kantau, balai. Seakan-akan kata bertingkat seperti dalam budaya Jawa. Tetapi dalam alam Jawa tersebut, tingkatan kata bersifat konvensional dan tidak mengandaikan tingkatan akurasi dan validitas (nalar), hanya sekedar sebagai pemilahan wilayah simbolis. Tingkatan tersebut diterapkan untuk menjaga tatanan feodal yang ada dengan keberadaan seorang Raja sebagai representasi ultimatum tertinggi. Feodalisme baru di Minang boleh dikatakan jauh lebih radikal karena menyusup ke dalam pengandaian nalar yang tidak membutuhkan kehadiran representatif seorang Raja sebagai ultimatum tertinggi. Raja di Minang hanya bersifat simbolis-konvensional yang tidak berpengaruh apa-apa, yang dalam perkembangannya di era modern, tumbuh raja-raja baru yang juga simbolis namun non konvensional yang memiliki pengaruh ekonomi-sosial-kultural yang jauh lebih jelas ketimbang raja Konvensional. Jika kita menelisik khasanah sastera orang-orang Minang pada era Pujangga Baru (era-era keemasan modernisasi di Minangkabau) dan sekitarnya, kita akan melihat cukup jelas polarisasi feodalisme Minangkabau.

Kedatangan islam Paderi di Minangkabau merupakan momentum penting dari tragedi ini yang menyingkirkan secara paksa berbagai aspek alamiah (dunia ke”betul”an) yang tumbuh di masyarakat (perang Paderi). Pemaksaan tersebut melenyapkan gelanggang alami pertumbuhan kata menuju bentuk pemaknaan yang semakin adaptif dalam menyikapi pergerakan zaman. Walaupun islam tidak menyingkirkan dasar-dasar yang menjamin pertumbuhan kata tersebut (tambo alam Minangkabau, dsb) tetapi dalam prakteknya islam memberikan tekanan. Dalam pandangan islam yang diwakili kaum Paderi, segala pengandaian yang tidak berdasar kepada dalil naqli diabaikan. Kata yang dialaskan kepada akal semata dianggap bid’ah. Kata yang paling absah hanyalah firman Tuhan dan segala yang berguna dalam rangka firman itu. Kata yang tidak berhubungan sama sekali dilenyapkan.

Islam paderi membawa pembaruan dan pandangan modernitas dalam konstelasi yang sangat artifisial, kemajuan secara pragmatis. Begitu pula, sikap pragmatis itu dibarengi berkembangnya hegemoni fiqh yang sangat artifisial pula. Nalar dan nilai membentuk kosmologinya secara instan melalui doktrin agama dan tidak lagi melalui proses dialektika yang orisinil terhadap alam. Hukum adat diislamkan dengan menyandingkan kata Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Setiap orang Minang kemudian mesti islam, jika tidak, berarti keluar dari Minang. Hal yang terakhir ini merupakan penetrasi paling substantif dari formalisme islam paderi di Minangkabau. Suatu tujuan ideologis dengan kerangka agama.

Biografi Kata Disekitar Saya-Biografis

Gelanggang yang dulu sudah tidak netral lagi. Sebelum masuk gelanggang, berbagai kategori sudah bertebaran di sana-sini menghegemoni persepsi (jadi mambaco bayang). Bahkan basilek lidahsudah dekaden menjadi area apologi dan retorika kata-kata belaka, tanpa ada tatanan kosmologi yang jelas secara nilai moral. Saat ini,Silek berkonotasi pada keterampilan tanpa kearifan. Dalam bahasa Minang disebut, Ciluah. Semua orang merasa berhak berkata-kata asalkan logis tanpa peduli akan ruang rasa dan pengalaman yang saling berlainan.

Perkembangan kebudayaan macet karena tatanan kata disusupi paradigma yang memecah belah kesadaran kata di Minangkabau, kreatifitas dikooptasi. Kreatifitas sebelumnya berasal dan hidup dalam dunia ke”betul”an yang informal. Kemudian kreatifitas berada dalam jajaran yang terlalu kategoris: “apa yang berguna praktis”. Yang dibudayakan hanyalah yang disiplin, beku, formal, ke”benar”an. Korban paling besar yang harus tersingkir adalah segala hal yang berhubungan dengan dunia ke”betul”an. Misalnya hilangnya berbagaipamainan anak nagari (kesenian tradisi) yang hidup dengan modalitas ke”betul”an itu.

Dalam Minangkabau kini, kata tidak tumbuh menjadi diri sendiri. Karena arus global tidak sebatas memiliki konsekwensi yang diskursif dan formal saja, tetapi juga membawa segenap akibat bagi dunia pengalaman, yang merubah cara merasa di dalam hati yang lugu. Sedangkan kata tidak akan tumbuh menjadi diri sendiri hanya dengan kejelasan defenisi dan kategori, ia perlu pula untuk dijelaskan, dirasakan dan dihayati keindahannya: dialami. Namun, bagaimana bisa mengakses keindahan jika selalu menutup pintu keluasan cakrawala hidup dan mengkategorisasikan (memanipulasi) pengalaman dengan berbagai cara secara pragmatis belaka. Menjadi feodal secara lebih radikal dalam nalar dan nilai.

Segala pengalaman mestinya biografis. Dan keadaan ini merupakan akhir dari biografi keindahan kata di Minangkabau. Awal dari segala keindahan Minangkabau adalah ketika Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang saling memperdebatkan segenap dunia pengalaman masing-masing (biografis) yang mewujud menjadi Minangkabau itu.

Minangkabau kini mengalami dilema kepribadian: narsis dan schizoprenik. Menjadi narsis dalam keterasingan identitas di masa kini sehingga bersibuk diri dengan pendasaran masa lalu. Schizoprenik dalam sikap yang mendua menghadapi kebaruan zaman. Kadang-kadang terkungkung minder nalar tentang kematian kata namun masih terjebak di dalamnya. Kadang-kadang minder moral dalam pergaulan antar identitas yang justru simbolis dan ikonik, dan tidak bersandar pada kata yang semakin kehilangan jejak, dan akhirnya memistifikasi berbagai hal di dalam dirinya secara seronok. Sementara diri masih juga belum tuntas mengurai (sekaligus memanipulasi) super-ego dalam dunia kata ibu: kato (kata) mandaki, kato manurun, kato mandata, kato malereang, dsb.

Dunia global telah melenyapkan dialektika alam dan rantau. Di alam tumbuh rantau, bahkan rantau mendatangi kita di kamar tidur dengan televisi (Afrizal). Di rantaupun begitu, alam merepro dirinya dalam berbagai struktur yang baru. Sehingga orientasi kebudayaan Minang harus dijelaskan kembali jika identitas yang bersifat kosmis masih diperlukan untuk sekedar menghirup udara hidup yang gratis ini. Begitu pula, persoalan identitas berarti berurusan dengan orang lain dan bukan dengan diri sendiri saja. Dan Identitas di saat ini lebih sebagai konotasi yang terbangun di benak orang lain ketimbang denotasi yang dikoar-koarkan oleh diri sendiri. Sedangkan sebagai konotasi, tidak ada lagi yang substantif disitu kecuali sebuah metode apresiasi (gelanggang baru) terhadap kesaling-bebasan berideologi bagi setiap pihak. Dalam konotasi yang lebih ditonjolkan adalah cara, metode, teknik, dalam berbahasa, bukan subjek-objek bahasa.

Akhirnya saya kutip lagi penjelasan Afrizal Malna pada akhir tulisannya. Setelah menguraikan lebih jauh, Afrizal menyebut bahwa dalam karya sastera orang-orang Minang tersebut, secara sangat tendensius, diperlihatkan kondisi Minangkabau sebagai realitas yang sedang berubah. Perubahan tersebut teridentifikasi sbb:

1. “Minangkabau adalah sebuah perubahan yang disembunyikan.

2. Telah tumbuh tanah rantau sebagai perubahan asing, dalam

dunia Minang itu sendiri.

3. Minangkabau dengan tradisi rantaunya adalah kereta panjang yang setiap orang yang masuk ke dalam kereta itu akan lenyap

4. Minangkabau adalah personifikasi kemerdekaan yang sedang membusuk dalam moralitas yang terbelah.

5. Orang Minang lebih sibuk mempercanggih diri daripada menyelesaikan masalah.”

Pada suatu kesempatan bersama Afrizal, ia lebih suka menyebut dirinya Alien: lahir di tengah-tengah kehidupan urban kosmopolit di Jakarta, tumbuh besar dalam suasana yang sangat global, sehingga baginya menjadi tidak menarik lagi membicarakan tentang kesadaran Identitas (dengan I besar) yang dalam pengandaian saya menyebabkan ketertutupan dan manipulasi nalar terhadap banyak hal. Baginya identitas (dengan i kecil) lebih sebagai biografi yang dialami saja, seperti ingatannya tentang suara Dendang yang dilagukan ayahnya ketika masih kecil. Dan ia menanyakan pada saya, mengapa saya dipanggil Saluang, sebuah kata yang identik. Saya pahami juga, bahwa kata itu tak menjelaskan apa-apa kecuali sebagai suatu hal yang sangat dekat dalam keseharian saya.

Terakhir, menyinggung semangat Gurindam ini, yang merasa mewakili visi dari transformasi budaya Minang saat ini, disamping banyak lagi yang lainnya, yang berkehendak untuk melaksanakan kata-kata, akhirnya tidak terlalu penting lagi bagi saya, karena tidak mungkin melaksanakan kata-kata jika kata itu tidak tumbuh menjadi diri sendiri. Dengan pendekatan yang lebih biografis, kita melihat lebih jelas berbagai upaya yang kita lakukan dalam pergulatan identitas dan kuasa: keindahan dan kemunafikan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar