Halaman

Selasa, 23 November 2010

Legenda Sitti Nurbaya, Pusaka Ranah Minang yang Terabaikan

Sitti Nurbaya seperti dirundung duka tak berujung. Namanya sering hadir untuk menggambarkan cerita mellow anak manusia. Hal ini tergambar jelas seperti pada sebuah jembatan, taman, klub sepak bola, judul lagu, judul sinetron, bahkan nama kuburan.

Sejak hadir dalam novel Marah Rusli, Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai, nama Sitti Nurbaya mampu merebut pembacanya. Lambat laun, kemudian menjelma menjadi pusaka budaya masyarakat Minangkabau.

legenda-siti-nurbaya-pelaminan-minang






















Di kawasan Kota Tua Padang, Sumatera Barat, kisah sedih Sitti Nurbaya jelas terbaca mata. Di kawasan ini melintang jembatan di Sungai (Batang) Arau yang masih terluka karena gempa akhir September 2009. Luka ini turut meredupkan api kehidupan warga sekitar.

Jembatan berbentuk melengkung ini begitu indah sebelum gempa. Pada petang sampai malam hari, semua lampu bulat di sepanjang sisi langkan kanan-kiri jembatan memesona pandangan. Kini semua lampu itu padam. Tak ada penerangan di sepanjang jembatan. Badan jembatan di masing-masing ujung ambles, sebagian aspalnya mengelupas.

Sisam (52), nenek penjual jagung bakar di Jembatan Sitti Nurbaya, berkeluh kesah saat ditemui Kompas, awal Februari lalu. Setelah gempa 30 September 2009, penghasilannya menurun tajam lantaran kawasan itu menjadi gelap. Biasanya, ketika jembatan terang oleh keindahan lampu, dia bisa meraup keuntungan Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per malam. Namun, belakangan dia rata-rata hanya bisa mendapatkan uang Rp 20.000 per malam.

Begitupun dengan Murnan (51), tukang ojek di kawasan Jembatan Sitti Nurbaya, kegelapan membuatnya kehilangan sebagian pelanggan. Penumpang ojek malam hari menjadi berkurang lantaran mereka enggan keluar rumah. Begitupun dengan pemilik kedai makanan di sekitar Jembatan Sitti Nurbaya. Pendapatan mereka terpengaruh oleh kerusakan jembatan.

Luka sebelum gempa

Di barat jembatan terdapat Dermaga Muaro Padang, pelabuhan tua yang melayani hubungan antarpulau di barat Sumatera. Dermaga ini mulai lesu karena pendangkalan sungai. Buruh angkut, sopir truk barang, dan pemilik kedai di sekitar pelabuhan kehilangan pelanggan karena dermaga sepi. Kondisi ini mulai terjadi jauh sebelum gempa.

Di arah barat laut jembatan, berdiri Gunung Padang (sekitar 300 meter dari permukaan air laut). Di gunung inilah terdapat Taman Sitti Nurbaya beserta sebuah kuburan yang dianggap sebagian orang sebagai makamnya.

Taman Sitti Nurbaya berada di puncak Gunung Padang yang relatif bersih. Taman seluas sekitar 1 hektar ini ditumbuhi pepohonan rindang. Pengelola menyediakan tempat duduk yang menghadap ke semua sisi gunung. Dari tempat ini bisa dilihat Kota Padang dan gugusan pulau kecil dengan pantainya. Lokasi ini menjadi latar belakang cerita novel Sitti Nurbaya saat Samsulbahri bertamasya bersama kawan-kawannya.

Namun, kondisi ini kontras dengan kondisi sebuah makam yang disebut Sitti Nurbaya yang terletak di lereng gunung. Makam yang diimpit dua batu besar justru dipenuhi coretan cat oleh tangan manusia. Turun ke kaki gunung, kondisinya lebih kacau. Jejak sejarah, berupa goa-goa Jepang lengkap dengan meriamnya, tidak terawat sama sekali. Goa-goa ini dikepung permukiman padat di kemiringan tebing.

Slamet (60), juru pelihara Taman Sitti Nurbaya, mengatakan, pemeliharaan taman belum menyentuh kawasan di kaki gunung. Permukiman ini sebagian bahkan menempati situs peninggalan Jepang. Di sekitar permukiman terdapat serakan sampah. ”Saya tidak sanggup mengurus sampai ke soal itu,” ujar Slamet yang pernah menjadi pemain figuran sinetron Sitti Nurbaya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat James Hellyward mengatakan, salah satu andalan obyek wisata Sumatera Barat adalah kawasan Sitti Nurbaya. Kawasan ini mestinya terpelihara sebagai tempat tujuan wisata budaya dalam Kota Padang. Kerusakan Jembatan Sitti Nurbaya dan penataan permukiman di kaki Gunung Padang sepenuhnya wewenang Pemerintah Kota Padang.

Rusaknya sarana penerangan jembatan, misalnya, seharusnya menjadi inisiatif eksekutif dan legislatif untuk menghidupkan kembali kawasan itu. Jika kawasan ini gelap dan kotor, tuturnya, para wisatawan akan berpikir dua kali untuk datang. James menyayangkan kondisi ini belum teratasi.

Dekat dengan masyarakat

Budayawan Minangkabau, Haris Efendi Thahar, mengatakan, masyarakat sebenarnya dekat dengan cerita Sitti Nurbaya. Namun, banyak yang tidak membacanya lagi, sekadar memahami dari cerita orang. ”Bagi kami, Sitti Nurbaya merupakan pahlawan keluarga. Dia menyelamatkan ayahnya yang terlilit utang pada Datuk Meringgih, kemudian dia menyerahkan diri sebagai penebus utang,” tuturnya.

Cerita Sitti Nurbaya bukan saja refleksi pengarang terhadap budaya Minang, melainkan juga koreksi pengarang terhadap budaya yang berkembang. Tradisi masyarakat Minang yang matrilineal, mengikuti garis keturunan ibu, dipertanyakan dalam novel ini. Sitti Nurbaya membela sepenuh hati ayahnya yang terlilit utang. Cerita inilah, tutur Haris, yang mampu merebut hati masyarakat meski tidak lazim dalam tradisi.

Akan tetapi, kisah sedih Sitti Nurbaya berlanjut. Masyarakat yang mengaku mencintai Sitti mestinya turut menjaga pusaka ini sebagai warisan budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar