Halaman

Kamis, 11 November 2010

Menyusuri Jejak Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang, Ajarkan Kitab Kuning dari Surau Hingga


Mengunjungi Nagari Canduang kurang afdol rasanya jika tak singgah di Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang. Di kawasan ini terdapat makam Syekh Soelaiman Arrasulli atau Inyiak Canduang dan surau tua; tempat awal ia mengajarkan ilmu agama.

Memasuki gerbang pondok pesantren, nuasan Islami begitu kental terasa. Didukung suhu yang sejuk dengan latarbelakang pemandangan Gunung Merapi, rasa sejuk terus merasuki jiwa. Di gerbang pesantren, tepat di Pos Satpam terlihat, Warning: Kawasan Wajib Berbusana Muslim!. Lepas dari gerbang, langsung terlihat sebuah makam, persis di halaman Pesantren berbentuk leter U dan berlantai III itu.Itulah makam Inyiak Canduang. Letaknya agak ke pojok halaman dekat dengan kantor pesantren. Mendekati makam, di nisannya tertulis Syekh Soelaiman Arrasulli bin Muhammad Rasoel, lahir 10 Desember 1871, wafat 1 Agustus 1970, atau wafat di usia 99 tahun. Di batu yang lain juga tertulis; 30 tahun menjadi guru besar dalam agama Islam (1908-1938).

Pada batu yang cukup besar di samping makam, tertulis pesan terakhir pendiri pondok pesantren, Teruskan Membina Tarbiyah Islamiyah Ini Sesoeai dengan Peladjaran yang Koe-berikan. Setidaknya, karena pesan itulah, pesantren yang terkenal di kawasan Nusantara ini, tetap diminati dan banyak santri dari berbagai provinsi dan negeri tetangga menuntut ilmu agama di situ. Kini, pesantren tersebut, memiliki 900 orang santri dan mengisi 30 lokal serta dididik oleh para guru yang memiliki pamahaman ilmu agama yang baik.

Mengingat kembali surau di lingkungan pesantren, ada yang menarik. Jika dulu Inyiak Canduang mengajarkan kitab gundul di surau itu dan banyak murid-muridnya pandai memahami makna kitab gundul. Kini santri pesantren Inyiak Canduang pun tetap mendapat apa yang dulu diberikan Inyiak Canduang kepada muridnya. Yaitu belajar kitab gundul.

Kepada santri juga diajarkan tata cara shalat dan bersuci secara sempurna, puasa, zakat, muamallah (hubungan antar manusia) dan lainnya. Veni Desnita, salah satu santri di sana mengaku, ia menuntut ilmu di pesantren itu semata karena ingin mendalami ilmu agama yang tidak didapatkannya di sekolah umum. Di pesantren juga diberlakukan sanksi bagi laki-laki dan perempuan yang kedapatan berduan. “Sekali kedapatan dikenakan poin 25. Kalau poinnya sudah sampai 100 orangtua santri dipanggil,” jelas Veni.

Surau tak Terawat

Di seberang jalan pesantren, tepatnya di belakang Masjid Inyiak Canduang, masih berdiri tegar surau tempat Inyiak mengajarkan ilmu agama. Menurut cucu dari istri pertama Inyiak Canduang (Inyiak Canduang punya 11 istri), Buchari Muslim didampingi Syahril warga sekitar, Inyiak Canduang mengajar mengaji di surau itu sampai tahun 1932 sebelum mendirikan pesantren.

Dua bangunan surau sederhana yang terbuat dari kayu itu kini kondisinya sudah mulai lapuk. Semua pintu dan jendela tertutup rapat, atap sengnya pun sudah berkarat. Rumput-rumput liar dibiarkan tumbuh menjalar.

Satu bangunan direhab menjadi asrama santri putra. Di situ memang terlihat kehidupan. Beberapa santri terlihat hendak pergi mandi. Aktivitas di surau terhenti karena sudah ada pesantren dan masjid yang lebih representatif.
Menguasai 11 Bahasa.

Baru dua tahun mengurus pesantren sepulang merantau ke Aceh dan Jawa, Buchari mengaku tak banyak tahu dengan sosok Iyiak Canduang. Yang jelas sebagai ulama hebat, Inyiak, katanya, menguasai 11 bahasa asing, antara lain bahasa Arab, Inggris, Perancis, Jepang, Belanda, Cina dan lainnya. Inyiak Canduang juga menuntut ilmu di 11 negara, seperti Mesir dan Yaman.

Teman dekat Inyiak adalah Ayah Buya Hamka, yang juga ulama terkenal dan Syekh Burhanuddin di Pariaman. Syahril juga bercerita, yang bergelar Inyiak Canduang sebenarnya adalah mamak (Paman, red) Syekh Soelaiman Arrasulli, yang juga seorang ulama. Tapi karena tak tercacat dalam sejarah, akhirnya sebutan Inyiak Candung lebih melekat dengan nama ponakannya it

Tidak ada komentar:

Posting Komentar