Halaman

Selasa, 05 Oktober 2010

ADAT MINANGKABAU


Orang Minangkabau terkenal dengan adatnya. Adat sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam petatah Minangkabau diungkapkan, hiduik dikanduang adat.

Ada empat tingkatan adat di Minangkabau.

1. Adat Nan Sabana Adat

Adat nan sabana adat adalah kenyataan yang berlaku tetap di alam, tidak pernah berubah oleh keadaan tempat dan waktu. Kenyataan itu mengandung nilai-nilai, norma, dan hukum. Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan sebagai adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati; atau adat babuhua mati.

Adat nan sabana adat bersumber dari alam. Pada hakikatnya, adat ini ialah kelaziman yang terjadi dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, adat Minangkabau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu melahirkan konsep dasar pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan syarak mangato, adat mamakai. Dari konsep itu lahir pulalah falsafah dasar orang Minangkabau yakni alam takambang jadi guru.

Adat nan sabana adat menempati kedudukan tertinggi dari empat jenis adat di Minangkabau. Ia berfungsi sebagai landasan utama dari norma, hukum, dan aturan-aturan masyarakat Minangkabau. Semua hukum adat, ketentuan adat, norma kemasyarakatan, dan peraturan-peraturan yang berlaku di Minangkabau bersumber dari adat nan sabana adat.

2. Adat Nan Diadatkan

Adat nan diadatkan adalah adat buatan yang direncanakan, dirancang, dan disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang berupa adat nan diadatkan disampaikan dalam petatah dan petitih, mamangan, pantun, dan ungkapan bahasa yang berkias.

Orang Minangkabau mempercayai dua orang tokoh sebagai perancang, perencana, dan penyusun adat nan diadatkan, yaitu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Inti dari adat nan diadatkan yang dirancang Datuak Parpatiah Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Sedangkan adat yang disusun Datuak Katumangguangan intinya melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak sewenang-wenang.

Sepintas, kedua konsep adat itu berlawanan. Namun dalam pelaksanaannya kedua konsep itu bertemu, membaur, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan demokrasi yang khas di Minangkabau. Diungkapkan dalam ajaran Minangkabau sebagai berikut:

Bajanjang naiak, batanggo turun.
Naiak dari janjang nan di bawah, turun dari tanggo nan di ateh.
Titiak dari langik, tabasuik dari bumi.

Penggabungan kedua sistem ini ibarat hubungan legislatif dan eksekutif di sistem pemerintahan saat ini.

3. Adat Nan Taradat

Adat nan taradat adalah ketentuan adat yang disusun di nagari untuk melaksanakan adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nagarinya. Adat ini disusun oleh para tokoh dan pemuka masyarakat nagari melalui musyawarah dan mufakat. Dari pengertian itu lahirlah istilah adat salingkuang nagari.

Adat nan taradat disebut juga adat babuhua sentak, artinya dapat diperbaiki, diubah, dan diganti. Fungsi utamanya sebagai peraturan pelaksanaan dari adat Minangkabau. Contoh penerapannya antara lain dalam upacara batagak pangulu, turun mandi, sunat rasul, dan perkawinan.

4. Adat Istiadat

Adat istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan mufakat niniak mamak dalam suatu nagari. Peraturan ini menampung segala kemauan anak nagari yang sesuai menurut alua jo patuik, patuik jo mungkin. Aspirasi yang disalurkan ke dalam adat istiadat ialah aspirasi yang sesuai dengan adat jo limbago, manuruik barih jo balabeh, manuruik ukuran cupak jo gantang, manuruik alua jo patuik.

Ada dua proses terbentuknya adat istiadat. Pertama, berdasarkan usul dari anak nagari, anak kemenakan, dan masyarakat setempat. Kedua, berdasarkan fenomena atau gejala yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Ini diungkapkan dalam kato pusako:

Tumbuah bak padi digaro, tumbuah bak bijo disiang.
Elok dipakai, buruak dibuang.
Elok dipakai jo mufakat, buruak dibuang jo rundiangan.

B. SISTEM MATRILINEAL

1. Apa Itu MATRILINEAL

Suku, atau matriclan, ialah unit utama dari struktur sosial Minangkabau dan seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau kalau dia tidak mempunyai suku. Suku sifatnya exogamis, kecuali bila tidak dapat diselusuri lagi hubungan keluarga antara dua buah suku yang senama tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Oleh karena orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, suku bisa berarti genealogis maupun territorial, sedangkan kampuang tanpa dikaitkan ke salah satu suku tertentu hanya mengandung arti territorial semata-mata.

Tiap suku minang biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai dan jurai terbagi pula ke dalam samande (artinya “satu ibu”). Cara pembagian suku di Minangkabau seperti demikian bisa berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Jurai adalah istilah yang kabur yang mungkin menunjukkan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di bawah atau di atas tingkatan paruik. Samande, sebaliknya, sukar dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau tiga samande bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta benda tidak bergerak lainnya; sedangkan segala hal-ihwal yang penting dalam lingkaran hidup (life cycle) tidak dapat diselesaikan oleh anggota-anggota dari samande yang sama (yang biasanya berpusat sekeliling seorang nenek) saja, tetapi harus disampaikan kepada paruik.

Anggota dari paruik yang sama biasanya memiliki harta bersama (harato pusako), seperti tanah bersama, termasuk sawah-ladang, rumah gadang dan pandam pekuburan bersama. Oleh karena ‘paruik’ berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam suku yang satu. Dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula terbagi ke dalam dua atau lebih suku baru yang bertalian.

Dalam sistem keturunan matrilineal/matriahat di Minangkabau ini, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut samando atau urang samando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di mana dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis-keturunan itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya berada di situ. Dia adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Tidak pula dia diberi tempat di rumah orangtuanya (garis ibu/matrilineal) oleb karena semua bilik hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang memotivasi lelaki Minang untuk merantau.

Orang laki-laki biasanya mencari nafkah dengan cara pergi ke pasar menjadi pedagang, atau bekerja sebagai tukang kayu, tukang bajak di sawah, penjahit, pemilik kedai, pegawai kantor, dan sebagainya. Dia bekerja di sawah ladang milik garis-keturunannya atau milik garis-keturunan isterinya hanyalah sambil lalu, jika tidak ada yang lain yang akan dikerjakannya.

Kalau dia memutuskan hendak mengolah tanah dari garis keturunan ibunya untuk mendapatkan sebagian hasilnya, dia biasanya berbuat begitu sebagai seorang penyedua (pekerja bagi hasil), di mana dia menerima hanya sebagian dari hasil, sedangkan bagian yang lain diperuntukkan kepada anggota garis-keturunan wanita yang sebenarnya menjadi pemilik dari tanah tersebut.

Perkawinan, oleh karena itu, tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau isteri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Sebab itu pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena dia selalu ternaung oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Ikatan yang lemah terhadap si ayah ini bahkan lebih jelas terlihat apabila si lelaki berpoligami, di mana dia bergilir mengunjungi istrinya, dan lebih jarang bertemu dengan anak-anaknya. Ikatan itu tambah berkurang lagi bila perceraian terjadi, dalam keadaan mana dia jarang sekali bertemu dengan anak-anaknya.

2. PENJELASAN LEBIH JELAS :

Sumber :UKM ITB

Perkawinan di Minangkabau diatur oleh syarak dan adat. Perkawinan menurut syarak saja (disebut kawin gantuang) dianggap belum selesai.

a). Perkawinan dalam suku/nagari

Ini adalah bentuk perkawinan yang lebih dianjurkan di Minangkabau. Namun yang ideal lagi adalah perkawinan antar keluarga terdekat, seperti: menikahi anak mamak (pulang ka mamak) atau menikahi kamanakan bapak (pulang ka bako).

b) Perkawinan luar suku

Ini berarti menikah dengan orang non-Minangkabau. Perkawinan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau tidak disukai karena bisa merusak struktur adat. Si anak tidak akan mempunyai suku. Sebaliknya, perkawinan dengan laki-laki luar suku Minangkabau tidak dipermaslahkan, karena tidak merusak struktur adat dan anak tetap mempunyai suku dari ibunya.

c) Perkawinan terlarang (perkawinan pantang)

  • Perkawinan yang dilarang sesuai syariat Islam, seperti menikahi ibu, ayah, saudara, anak saudara seibu dan sebapak, dll.
  • Perkawinan yang merusak sistem adat, yakni menikahi orang yang setali darah menurut garis ibu, orang sekaum, atau orang sesuku.
  • Perkawinan yang dilarang untuk memelihara kerukunan sosial, seperti menikahi orang yang diceraikan kerabat, memadu perempuan yang sekerabat, menikahi anak tiri saudara kandung, atau menikahi orang yang dalam pertunangan.

Orang yang tetap melakukan perkawinan terlarang ini akan diberi sanksi, misalnya membubarkan perkawinan itu, diusir dari kampung, atau hukum denda dengan meminta maaf pada semua pihak pada suatu perjamuan dengan memotong seekor atau dua ekor ternak.

C. SUKU-SUKU DI MINANGKABAU
SUKU DI MINANGKABAU

Suku Minangkabau atau Minang atau seringkali disebut Orang Padang adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam.

Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) danSingapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan,masakan Padang sangat terkenal.

Suku Minang pada masa kolonial Belanda juga terkenal sebagai suku yang terpelajar. Oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Hindia-Belanda sebagai pengajar, ulama dan menjadi pegawai pemerintah. Di samping itu, mereka juga aktif dalam mengembangkan sastra Indonesia modern, dimana hal ini tampak dari banyaknya sastrawan Indonesia di pada masa 1920 – 1960 yang berasal dari suku Minang. Pada masa kolonial, kebanyakan dari mereka yang terpelajar ini datang dari suatu tempat bernama Koto Gadang, suatu nagari yang dipisahkan dari kota Bukittinggi oleh lembah yang bernama Ngarai Sianok. Sampai sekarang mayoritas suku Minang menyukai pendidikan, disamping tentunya perdagangan.

Suku-suku dalam Etnik Minangkabau

Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.
Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari dua lareh atau kelarasan (laras). Suku-suku tersebut adalah:

Dan dua kelarasan itu adalah :

  1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
  2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang

Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:

Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego.

Sekarang, suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar